Saturday, December 4, 2010

Drama Toilet Ibukota

Sebagai seorang pemuda lulusan SMP, aku cukup berutung bisa mendapat pekerjaan di kota besar. Gedung tempatku bekerja pun merupakan satu dari bagunan paling mewah dengan pendingin yang tidak pernah berhenti. Dimana uang keluar dari dompet mahal istri maupun simpanan pengusaha yang menggelayut manja. Juga dimana mobil yang masuk bukan angkot berpolusi menyesakan tapi mobil mulus yang tak akan kumiliki dengan menjual nyawa pada setan sekalipun. Apa sudah tertebak dimana aku bekerja? Ya, benar apabila kamu menjawab sebuah pusat perbelanjaan, atau kerennya, mall.

Gedung bertingkat 6 ini luasnya bukan main, ada lebih dari 5 atrium yang secara satuan lebih luas dari lapangan bola di kampungku. Dari toko yang berbaris mulus tanpa cacat segaris pun di tiap pintu kacanya hingga diskotik yang baru buka saat banyak orang memutuskan untuk bergelung di bawah selimut. Nah, disanalah aku ditempatkan selama 4 kali dalam seminggu, beberapa toilet di lantai 6. Apakah kamu menebak aku seorang cleaning service? Ya kamu benar lagi.

Dalam 4 kali seminggu mendapat sudut pandang menarik tentang ibukota, rasanya ingin aku menukar semua shift ku menjadi malam, tapi apabila hal itu kulakukan aku tak bisa mendapatkan tip yang cukup bagus dari pengunjung pagi sampai sore hari. Para orang baik hati yang masih menyediakan sedikit receh mereka walaupun tau toliet ini dapat dipakai gratis. Aku suka mereka.

Kembali pada shift malam ku, kenapa itu menarik? Tentunya diskotik di lantai atas itulah sebabnya. Kudengar dari satpam yang menjaga, diskotik itu sangat terkenal dikalangan para penjelajah malam. Yang ku tahu mereka baru ramai datang pukul 12 dan pulang menjelang azan subuh.

---

”Aku gak mau tau, kamu harus putusin cowok kamu yang brengsek itu. Emang karena dia ngorbitin kamu jadi model dia berhak milikin kamu?!”
Pembicaraan seperti itulah yang mengagetkanku pada minggu pertama aku bekerja. Ya, Tuhan. Beneran ada ya yang seperti ini di kota besar? Maklum aku dari kampung terpencil dan keluargaku cukup taat beragama. Tahu manusia tidak menetas dari cangkang seperti ayam saja baru ketika SMP.

Tak lama berselang aku, menemukan dua wanita saling berpelukan diluar pintu toliet. Salah satunya menangis. Akupun berdoa pada Tuhan semoga mereka bukan pasangan kekasih.
”Gue gak bisa gini terus, Mel...” Wanita yang menangis memulai ceritanya “Ini udah kedua kalinya Pak Jhony, nyuruh gue ngegugurin bayi gue. Yang pertama aja masih suka kebawa di mimpi gue, gue takut, Mel.”
Ternyata apa yang kudengar bukan berita yang lebih baik dari dugaanku. Kasihan wanita cantik itu. Kulit mulusnya begitu menggodaku untuk ikut memeluknya. Aku pun cepat-cepat menghapus pikiran itu dan tetep jalan tertunduk ke ruang suply mengambil detergen.

Shift malam menjaga toilet seakan tidak pernah berhenti memberiku pengalaman baru. Namun kejadian minggu lalu merupakan satu yang nampaknya akan sulit kulupakan.
”Mas, masss, tolong, mas...” rintih seorang pria terdenger dari toilet paling ujung lantai 6 saat aku membuka pintu.
Darah mengalir dari kemejanya yang terkoyak. Aku panik. Sangat panik. Aku hampir menangis karena ketakutan, saat meninggalkan laki-laki itu untuk memanggil satpam. Namun, saat kami kembali laki-laki itu sudah tidak bernyawa, polisi datang beberapa lama kemudian, lalu menanyaiku macam-macam.
”Pak, saya gak tau apa-apa, Pak... Sumpah, demi Tuhan” ucapku saat pertanyaan-pertanyaan itu mulai terasa menyudutkanku, air mata ketakutan yang sedari tadi kutahan mulai mengalir deras.
”Enggak, Jang, kamu cuma saksi. Tenang ya, Jang, jawab dulu aja. Ini cuma prosedur kok ” polisi muda itu menenangkanku.

---

Malam itu ternyata tidak kapok membuatku masuk di shift malam. Aku ingin menjadi pahlawan di tengah malam sampai dini hari. Aku ingin mengatakan pada pasangan sejenis yang kutemui untuk mengatakan mereka cukup tampan untuk membuat para gadis pingsan saat menerima senyuman mereka. Atau ingin memeluk wanita cantik yang dihamili bosnya dan mengatakan aku akan menikahinya. Bisa juga menghalagi usaha pembunuhan yang mungkin terjadi di pojokan lain di lantai ini.

Imajinasiku makin melayang malam ini, padahal aku tidak menenggak minuman maupun benda aneh yang katanya banyak beredar di tempat dugem, istilah yang sampai sekarang aku belum tau artinya. Aku masih menyimpan imajinasi itu ketika membuka pintu toliet pria untuk jadwal pengecekan pertama malam ini, dua orang yang tadinya sedang saling memeluk ditempat cuci tangan, mendadak menjauh.
”Maaf, Mas, latihan drama.” salah satu pria mencoba menjelaskan keadaan yang sekilas kulihat.

Saturday, November 20, 2010

Senja Hari dan Langit Sore

*Pernah jadi sebuah hadiah ulang tahun bagi seorang teman juga sebuah inspirasi bagu suatu proyek yang bersama seorang teman. Two special events, two happiness. enjoy :)*

Arlana berjalan dibawah hujan yang turun layaknya serpihan salju, namun pikiran itu segera saja menimbulkan tawanya. Salju? Yang benar saja. Paling tidak, tawa itu menghasilkan senyum yang bertahan beberapa menit sebelum ia sadar telpon selularnya bergetar.

Nada tunggu itu berubah menjadi sebuah sapaan dari putrinya yang sudah lama ia nanti. Entah kenapa Giana rindu sekali dengan anak semata wayangnya tersebut. Malam tadi ia memimpikan saat-saat ia bermain dengan Arlana kecilnya, belasan tahun lalu. Padahal ia tidak pernah membuka album yang sekiranya dapat merasuk alam bawah sadar dan memasukan kenangan itu dalam mimpinya.

Hujan yang membesar membuat Arlana buru-buru mematikan telponnya. Hari ini ia lupa membawa payung, dan kenyataan itu membuat ia menyesal telah mengambil jalan memutar hanya karena ingin menkimati teduhnya langit dan basahnya udara sore itu. Sebuah warnet menggoda langkahnya, tempat berteduh yang akan terlalu mahal pikirnya karena hujan mungkin tidak akan berlama-lama mengguyur, namun tetap saja ia melangkah masuk.

***

Ia mendengar pintu terbuka, membawa serta suara deru angin dan hujan di luar. Padahal ia telah selesai mencari tugasnya dan ingin segera mengakhiri petualangannya di dunia maya yang sudah berlangsung lebih dari 5 jam. Namun, sebuah suara memanggil, ”Fendi”, ia tersenyum sekenanya, nampaknya gadis yang baru masuk itu mengenalnya. Apapun untuk menghindari pembicaraan lebih jauh, menurut Fendi itu pilihan yang tepat kali ini. Ia mengantuk. Namun suara pembicaraan telpon dari bilik sebelah membuatnya sedikit terganggu.

Sebagai mahasiswa tahun kedua, Median sudah merasa hampir muak dengan tugas-tugas yang rasanya tidak pernah habis semenjak ia menanggalkan seragam putih abu-abu, dan sore ini semua itu tumpah di telinga temannya yang sekarang terjebak hujan di sebuah warnet, entah dimana. Ia tidak peduli walaupun hujan menyebabkan koneksi mereka seringkali terganggu karena cuaca sore ini. Ia hanya ingin sedikit meringankan kepalanya. Sayang kali ini sisa rupiah di selulernya tidak mengijinkan pembicaraan itu untuk berlangsung lebih lama. Padahal temannya baru saja mulai menceritakan tentang pemuda yang ia temui di warnet.

Fendi sedikit senang pembicaraan itu berakhir, suara gadis di sebelahnya memang tidak keras, tapi kadang warnet merupakan tempat yang bisa menjadi sangat tenang karena setiap biliknya berlaku bagai pasir isap yang akan menelan penggunanya ke dunia maya. Dan ia menyukai itu, ketenangan yang bahkan jarang ia jumpai di perpustakaan. Melihat hujan di luar yang mulai mereda Fendi memutuskan untuk pergi, sedikit tersiram gerimis mungkin, namun ia tidak peduli. Sebuah chat yang masuk pun diabaikannya, ia hanya ingin pulang saat ini.

***
Chat itu tak berbalas. Mungkin adiknya itu masih enggan bicara dengannya, pikir Dion. Walau ia tidak pernah bosan mencoba menghubungi Fendi lewat berbagai jalur komunikasi, tetapi ia masih belum bisa mendapat jawaban lebih dari berbagai jawaban sekedarnya. Adiknya makin menarik diri dari keluarga besar mereka semenjak ia menuntut ilmu di kampus idamannya. Namun, Dion tau, Fendi sama sekali tidak mengidamkan masuk kampus manapun, adiknya hanya ingin berada jauh dari jangkauan orang tua mereka. Jauh dari semua tuntutan seorang dokter dan ahli fisika yang selalu menuntut terlalu banyak di rumah. Tanda online adiknya sudah hilang, entah kemana, namun berarti usahanya gagal lagi kali ini. Dion pun menghela nafas panjang lalu menyeruput moccachino favoritnya pelan. Tak lama, sebuah tepukan pelan di bahu menghentikan aliran hangat itu.

Tidak butuh waktu lama untuk mengenali sosok Dion dari belakang, tadinya Giana hanya ingin menyapanya, namun raut wajah hangat Dion gagal membuatnya untuk langsung beranjak. Ia tidak menyangka bisa melihat Dion lagi di caffe yang sama setelah beberapa lama memutuskan untuk mengurangi frekuensi pertemuan mereka. Dion lebih muda bertahun-tahun darinya, dan lebih cocok apabila Giana mengenalkan pemuda itu pada anaknya yang kuliah di luar kota. Namun di masa lalu, arah pembicaraan mereka sempat membawa dua insan itu pada maksud yang lain. Setelah berkali-kali menolak rasa yang hadir, sore ini, ia bertemu lagi dengan pemuda yang pernah mengisi harinya dan tak bisa mengelak dari obrolan panjang yang menyenangkan.

Nira tidak bisa mengalihkan perhatian dari sudut caffe tempatnya bekerja, seorang pemuda berumur duapuluhsekian dengan wanita yang cukup mapan mengobrol hangat semenjak shiftnya dimulai dua jam lalu. Sulit rasanya menghindari pikiran jahil yang muncul kemudian, lagi pula caffe ini memang seringkali dikunjungi pasangan-pasangan yang agak ”meragukan” statusnya. Tak tahan menanggung otak yang berspekulasi sendiri, Nira pun mengirimkan pesan singkat pada teman karibnya di kota lain.

***

Pesan singkat itu datang bagai angin segar di musim panas. Namun, tawa terbahak Median terhenti seketika ia menyadari listrik di kamarnya padam. Ia tertunduk lemas, hasil ketikannya belum ia simpan. Kepalanya panas, dan rasanya ia benar-benar perlu angin segar dalam bentuk sebenarnya. Semburat berbagai warna di luar jendela mengundang dirinya untuk melangkah meninggalkan kamar.

Listrik padam dan si operator yang malang itu harus melayani semua orang yang serentak memutuskan meninggalkan warnet itu. Sebenarnya Arlana ragu harus senang atau tidak ia berada di antrian pertama, ia pikir gerimis masih bersisa, namun begitu langkahnya keluar dari warnet, senyumnya mengembang. Langit seakan dipenuhi pelangi.

Fendi belum juga sampai di kost, padahal kantuknya begitu berat saat ia di warnet tadi. Gerimis sore ini begitu menggoda. Membuat sepatu converse tuanya tidak rela untuk berhenti. Terlebih lagi warna-warni diatas sana memberikannya alasan untuk terus menikmati senja.
***

Siapa sangka senja hari di kota itu dapat mengeluarkan semburat warna-warna indah setelah berhari-hari dinaungi awan mendung. Namun tidak banyak yang menyempatkan diri berlama-lama mendongak ke atas dan menikmati sajian alam itu. Akan tetapi ada tiga orang yang rakus menelan keindahannya, dengan penuh harap di kepala masing-masing.

Di bawah langit sore di kota yang lain, jalanan basah tengah mengering. Sebuah mobil pembawa bahan bakar keluar dari jalur dan menabrak sebuah caffe di pinggir jalan protokol. Sebuah ledakan besar dan kobaran api yang menjilat tinggi tercipta dengan indah, ironis. Jingga yang menggelora itu menunda sejenak warna malam untuk datang.

Thursday, September 9, 2010

Kecup(u)an Dini hari

“I’m just a teenage dirtbag, baby. Yeah I’m just a teenage dirtbag, baby. Listen to Iron Maiden, baby with me…!”

Lagu itu telah bersarang entah berapa lama di kepalaku. Semenjak film-film remaja Amerika masih berjaya. Tentu saja aku menontonnya sembunyi-sembunyi bersama kakakku yang saat itu sedang puber, sedangkan aku, hanya anak kecil yang terlalu cepat dewasa akibat dicekoki tatapan manis Freddie Prince Jr maupun senyum cute Ashton Kucther. Seiiring waktu yang berjalan, begitupun masuknya sinema-sinema jepang, taiwan, dan kini teledrama korea, film-film remaja Amerika yang dulu kutonton itu nampaknya habis dilibas dengan wajah manis asia yang menyerempet ehem.. cantik. Yang tersedia sekarang hanya sinema macam High Scool Musical atau terjerumus dalam pedofilia karena mengagumi poni Justin Bieber.
Hmmm.. Aku memilih berada dalam masa lalu, dan lagu dari Wheatus yang sering kali kudengungkan mengikatku pada masa itu.

"Dia keren", kata pria yang kusukai ketika ditanya tentang diriku.
"Keren". Aku berujar sinis. Selera filmku banyak dipuji dengan kata itu. Pengetahuan musikku pun bernasib kurang lebih sama. "Keren". Kebayakan dari mereka menyukai pilihanku untuk hidup di masa sinema remaja Amerika masih menampilkan skate board dan heroic loser theme, tentunya sebelum Judd Appatow menjadikan sosok loser begitu keren lewat Michael Cera maupun Seth Rogen. Namun aku mengutuk kata "keren" yang menghantuiku, kata yang tak pernah membuatku terlihat semestinya. Kata "keren" entah mengapa melegitimasiku berbuat sedikit kasar, menggunakan banyak kata F dan S—walaupun aku tak akan menggunakannya dalam bahasa ibu ku— serta memudahkanku dekat dengan banyak orang. Mereka memandangku sebagai orang yang lepas dan "hidup". Padahal jujur, aku jauh dari itu.

Demi apapun aku mengasihani diriku, kata "keren" sudah tidak terdengar seperti semestinya ketika umurku menginjak angka 20-an, ketika tuntutan jadi dewasa datang dari segala penjuru. Ketika kepatutan bersikap dituntut para orang tua. Kata mereka menjadi "unik" bukan pilihan yang baik, walaupun kemudian mereka akan mengatakan menjadi diri sendiri adalah yang "terbaik". Namun tiada hentinya mereka memberikan pola yang harus kuikuti untuk menjadi robot yang mereka inginkan. Hipokrit.

Aku membenci kata "keren". Kata itu sama sekali tidak membantuku berani melangkah. Berani menjadi beda. Melakukan backpacking, pergi dari rumah, atau sekedar mengatasi ketakutanku pada jarum suntik. Kata "keren" juga tidak membantuku menaikan level pertemanan yang sudah kujalin dengan pria yang kusukai, menurutnya aku terlalu "asik" dan ia tidak ingin merusak persahabatan kami. Itu semua kata-kata klise yang berlaku bagai air yang masuk ke teligaku, mengganggu.

Lampu selulerku menyala dan tulisan aktifasi Alarm pun muncul. Dengan sebuah gerakan cepat aku mematikannya bahkan sebelum bunyinya berdengung. Tanda yang menyenangkan, seperti bel sekolah yang selalu kunanti pada masa seragam masih membungkus diriku. Tanda ini menunjukan batas waktu pikiranku untuk meracau sudah habis. Sebagai pengidap syndrom "entah-kenapa-selalu-terbagun-pada-dini-hari-dan-tidak-bisa-tidur-lagi" aku harus mencari cara menyibukan pikiranku sampai pagi menjelang.Inilah caraku, meracau. Setelah ku ringkas, tema dini hari tadi adalah kata "keren". Ah sial, semua ini sangat tidak "keren".

Friday, July 23, 2010

Namun Argo

Banyak hal yang telah diambil Namun dari seorang Argo.

Namun mengoyak mimpinya...
"Jadi penulis?! Jangan tinggi-tinggi punya mimpi! Tulisan kamu tuh gak sebagus itu. Lagian, kamu mau makan kertas kalo tulisan kamu enggak laku?! Bapak tidak ijinkan kamu mencoret-coret tidak penting seperti itu!"

meremehkan idenya..
"Bayangin yang nyata aja deh Go, gak mungkin ya kamu bisa bikin dunia lebih baik dengan cuma nebar senyum kayak gitu, kakak sih cuman mau kamu realistis aja, Go."

dan berkata sinis pada obsesinya...
"Ariana?! Lo naksir Ariana?! Sadar diri dong, Pangeran! Gue aja gak maksa buat terus ngejar si Kelly, mana mau cewe kayak gitu ama tampang2 macem gue. Nah samanya juga elo kudu sadar gak ngarep2 ama Ariana!"

Namun juga mengekangnya dalam identitas yang tidak ia inginkan...
"Kamu itu dari kecil introvert Argo, kamu gak bisa ada dilingkungan yang ramai. Emosi kamu labil dan bisa meledak kapan aja. Kamu masih kayak anak-anak, Go"

Argo membenci Namun, akan tetapi Argo tak bisa melepaskan diri dari Namun, jika ia ingin Namun pergi maka ia harus pergi meninggalkan dunia. Paling tidak begitu satu-satunya jalan keluar yang pernah ia pikirkan.

Sayang, Namun lagi-lagi menghalanginya,
"bunuh diri itu dosa tau!"

Sekarang, Namun berdiri di depan pintunya, menghalaginya untuk keluar dan mengintip apa yang ditawarkan dunia pagi ini. Namun juga mengikatnya di lantai, tempat ia teronggok lemah karena belum menyuapkan makanan padat ke lambungnya semenjak 2 hari lalu. Argo melirik lesu ke secarik kertas yang ditempel namun di pojok layar LCDnya,
"Pantang keluar sebelum didadar*". Dengan sisa tenanganya, Argo pun kembali bergumul dengan teori.

Namun tersenyum melihat ia yang sudah tak lagi punya daya untuk melawan, namun telah menang.

*di"dadar" dari kata "pendadaran", istilah untuk "sidang akhir" yang digunakan beberapa universitas.

Monday, June 28, 2010

Lonceng Angin

Malia menyukai hidupnya. Sedarhana, statis dan begitu santai. Rangkaian 3 kata yang bagi beberapa orang terdengar tidak menjanjikan. Dibandingkan kakak dan adiknya sudah menjadi orang-orang yang sukses, dua orang dokter, seorang pengacara, serta dua orang insinyur entah bidang apa, ia menyukai pekerjaannya sekarang. Seorang kasir disebuah toko roti yang sangat terkenal dengan roti manisnya. Toko yang laris dan selalu tutup sekitar pukul 5 sore, saat roti terakhir terjual.

Setelah menyelesaikan perihal pembukuan, Malia akan melangkah pulang di iringi azan maghrib ke rumah kontrakannya yang mungil tidak jauh dari tempatnya bekerja. Ia menyukai perjalanan pulangnya, ditemani temaram senja dan angin sore yang sejuk, jalan kecil yang ia lalui setiap harinya merupakan jalan komplek tempat anak-anak bermain, tidak jarang sepeda-sepeda mini masih tergolek di luat pagar, ditinggalkan si empunya yang dipanggil sang ibu yang masih percaya akan cerita lama ”tidak baik bermain saat diluar saat maghrib, nanti diculik kolongwewe”

Akan tetapi yang paling ia sukai dari perjalanannya adalah memandangi sebuah rumah lama yang tersempil belokan kedua sebelum ia sampai ke kontakannya. Selintas yang ia dengar dari anak-anak rumah itu berhantu. Mendengar hal itu ia hanya bisa tersenyum, antara percaya atau tidak. Terdapat sebuah lonceng angin yang selalu berbunyi indah dari rumah itu. bunyinya seperti mempunyai perasaan tersendiri, hangat seperti sebuah tawa girang maupun pelukan seorang teman. Malia menyukainya, menenangkan pikirnya.

Yang ia tidak tahu adalah lonceng itu tidak benar-benar digerakan oleh angin. Adalah Melodi seorang gadis kecil yang selalu memainkannya. Mulanya Melodi hanya memainkan temali lonceng itu selama bertahun-tahun, tak beraturan. Namun semua berubah saat Malia melewati rumah itu dan tersenyum ke arahnya. Malia, seharusnya sama seperti orang-orang lain, tidak bisa melihat Melodi. Karena nyatanya Melodi sudah tidak memiliki raga, Melodi ditinggal keluarganya saat ia gagal berjuang melawan demamnya, bertahun-tahun lalu. Ibu Melodi sangat terpukul, dan melihat hal itu ayahnya memutuskan untuk pindah dari rumah itu dan memindahkan lonceng angin dari kamar Melodi ke teras rumah. Tempat Melodi memainkannya setiap hari menunggu ibu dan ayahnya kembali suatu saat nanti.

Malia maupun Melodi seperti menemukan senyum yang mereka butuhkan. Malia tidak yakin mengapa ia tersenyum ke arah rumah itu tiap kali melewatinya, ia hanya ingin berterimakasih pada lonceng angin itu atas bebunyian yang begitu disukainya. Lalu bagi Melodi senyum Malia adalah hal terbaik yang pernah ia miliki, seperti seorang teman.
Jika dihitung sudah 5 tahun, Malia dan Melodi bertukar cita. Masih akan ada banyak sore yang menyenangkan apabila sebuah tragedi tidak terjadi. Sebuah sore dimana Melodi yang sudah merangkai bunyi berbeda dari lonceng angin itu tidak mendapatkan senyum temannya. Hari kian malam dan Melodi masih lonceng anginnya dengan setengah hati, ia sudah putus asa.

Saat sore berikutnya menjelang, Malia kembali hadir, wajahnya pucat dan terlihat lemas. Terdapat keringat dingin di dahinya. Namun Melodi tidak merasakan perubahan itu, ia terlalu senang, dan ia memalinkan bunyi yang ia rangkai kemarin dengan penuh suka cita, Malia sadar akan suntikan semangat yang ia dengar dari lonceng angin itu, dan ia pun tersenyum. Sayang senyum Malia tidak lama bertahan karena tiba-tiba ia hilang kesadaran dan tumbang didepan mata Melodi. Mulanya Melodi terbungkam, ia bingung atas apa yang dapat ia lakukan, jalanan itu sepi dan ia tidak berdaya menolong Malia yang tergolek lemah. Melodi hanya bisa membunyikan lonceng angin itu sekuat mungkin. Ia ingin membuat sebuah suara seperti lonceng gereja agar Malia bisa mendengarnya dan terbangun atau paling tidak membuat suara itu terdengar oleh seseorang yang dapat menolong mereka.

Malia terbangun disebuah kamar rumah sakit, disampingnya pemilik toko roti menatapnya dengan bahagia. Wanita berumur 60 tahun itu langsung menuju ke rumah sakit sesaat setelah berita tentang Malia sampai ditelinganya. Ia bahkan menggantikan perwalian orang tua Malia disurat-surat administrasi rumah sakit.
”Mal, kamu teh kenapa? Kan Ibu udah bilang kalo kamu masih sakit jangan masuk dulu”
Malia tidak menjawab, hanya tersenyum lemas. Ia ingin memeluk wanita didepannya, namun perhatiannya teralih pada sebuah benda yang ia kenal tergeletak di samping tempat tidurnya. Sang ibu pemilik toko menyadari hal itu dan menjawab tanya Malia.
”Lonceng angin itu ditemuin di genggaman tangan kamu, Mal. Sewaktu kamu pingsan”

Beberapa hari berselang dari kejadian itu, Malia sudah kembali sehat, namun ia harus beristirahat di rumah. Akan tetapi, nampaknya kesehatannya akan cepat pulih mengingat sebuah lonceng angin kini tergantung di teras mungil kontrakannya dan Melodi dengan senang hati memainkan bebunyian yang mengundang senyum Malia. Selayaknya canda ringan yang dilemparkan seorang teman.

Wednesday, June 23, 2010

Sotoy Tingkat Dewa

Tadinya, Grenda telah bertekad untuk menjaring koneksi sebanyak mungkin di pesta reuni yang diadakan oleh almamaternya ini. Merupakan kesempatan emas untuk mendapat panggilan wawancara di kantor birokrasi maupun perusahaan multinasional dari alumni sukses yang datang. Pesta reuni seperti ini memang sebuah ajang unjuk gigi yang sering kali dipakai fresh graduate sepertinya. Terlibat perbincangan dengan alumni sukses bisa berujung pada sebuah panggilan kerja yang ia idam-idamkan. Ia hanya perlu melontarkan kalimat-kalimat yang mengesankan pikirnya. Bagi seorang dengan pengalaman student exchange yang banyak belum lagi eksistensi tulisannya di jurnal keilmuan mahasiswa, ia yakin ia dapat mewujudkan goalnya.

Namun, satu jam berlalu tanpa hasil yang begitu berarti. Ia malah terjaring di pembicaraan para istri alumni yang bertanya tentang berbagai jurusan favorit di universitasnya, para teman seangkatannya yang meracau tentang kehidupan setelah kuliah, sampai seorang anak kecil yang menangis karena kehilangan orang tuanya. Setalah berhasil menemukan panitia yang dapat mengembalikan anak tersebut, Grenda terduduk lemah di barisan bangku yang disusun di pojok ruangan.

"Salah, mbak, caranya..." sebuah suara menarik pendengarannya. Seorang pemuda, ber-name tag 'PANITIA'
"Kamu ngomong ama saya?" tanya Grenda ketus.
"Iya, emang ada siapa lagi?" pemuda itu balik bertanya sambil menduduki kursi di sebelah Grenda.
Sedikit risih Grenda, menambah nada ketusnya, "Ngapain sih? ngajak kenalan? Gak minat, palingan angkatan 2009. Kamu panitia kan?"
"Hemmm, kalo saya bilang kumpulan ibu-ibu tadi suaminya semuanya diplomat, salah satu temen mbak yang di kumpulan tadi baru diangkat jadi CEO perusahaan terkenal, dan anak yang tadi nangis di kaki mbak itu bapaknya ketua LSM yang sering kerjasama ama negara-negara Eropa, gimana?"
"KAMU STALKER YA??!"
"Hedehh. We all now what the fresh graduates doin here. Fake smiles, looking smart, tryin too hard..."
"Ck ck ck, anak muda..." Grenda menyindir asumsi yang baru didengarnya.
"Ck ck ck, orang tua..." balas pemuda itu.
Grenda tertawa melihat tingkah pemuda di sampingnya, begitu percaya diri dan ehm, menggemaskan. Glek! Grenda tidak percaya pikiran yang baru melintas, ia disini untuk mencari peluang masa depan, bukan kisah aneh dengan daun muda.
"Let me just show you how to communicate, shall we?"
Pemuda itu bangkit dan Grenda mengikutinya. Ia masih sedikit mempertahankan keraguannya dengan berkata "sotoy tingkat dewa" seraya mengikuti langkah si pemuda menuju kerumunan orang.

Hanya butuh setengah jam dan Grenda sudah berada dalam pembicaraan santai dengan beberapa petinggi pemerintahan dan seorang pengacara ternama. Pemuda itu dengan lancar menggabungkan satu topik ke topik lain dengan beberapa kali memberi celah pada Grenda untuk menceritakan detail prestasinya. Pembicaraan itu hangat dan penuh tawa, bahkan sempat seorang alumni yang pernah menjabat asisten kepresidenan ikut dalam pembicaraan itu sebelum tertarik dengan harum martabak mesir baru disajikan di booth makanan.

Grenda hanya bisa terpukau, entah berapa koneksi yang berhasil dibuatnya berkat pemuda di sampingnya. Senyumnya bukan lagi senyum yang dipaksakan. Acara yang menegangkan ini pun terasa begitu ringan hingga ia tidak sadar banyak dari undangan yang telah pulang dan ia serta pemuda itu tengah terduduk di kursi tempat mereka bertemu.
"Masih mikir saya sotoy?"
Grenda tersenyum, dengan berat hati ia harus mengakui kesalahannya, "Hmm... you're..."
"Awesome?"
"Quite good" jawabnya dengan berat hati. "Maybe i shud buy you a drink later."
"It's 'later'"
Jawaban pemuda itu menghentikan senyum grenda, sebuah jawaban yang familiar. Dari sebuah film, pikirnya sambil mencoba menebak judulnya.
Seakan mampu membaca pikiran Grenda pemuda itu menambahkan "It's from The Blind Side".
"Sotoy tingkat dewa, dari mana juga kamu tau saya mikirin tentang line itu?"
"Well, just incase you haven't notice the name on my name tag. It's Dewa."

Monday, June 14, 2010

Banyak Senyum dari Kota

Ia memandangi lekat-lekat ruangan itu. Sebuah ruangan putih yang masih kental dengan bau cat. Senyum lebar menghiasi wajahnya, Ia sedang membayangkan tangan-tangan nakal yang akan merusaknya dengan batangan krayon maupun noda coklat yang dijiplakan dengan sengaja. Ia bisa mendengar gema teriakan melengking dari pita suara mereka selagi kaki-kaki kecil itu berkejaran. Ia pun samar-samar mulai melihat kuda kayu yang tidak akan berumur panjang karena selalu diperebutkan.

"Pak, Linda dan anak-anak belum bisa main ke rumah. mungkin lain kali ya, pak..."

Ia membuang setengah keranjang apel yang telah membusuk. Padahal ia telah membayangkan mulut-mulut kecil itu mengunyah pie buatannya dengan lahap. Ia juga harus membuang tepung terigu berkutu yang tak lagi bisa dipakai, salahnya memang, ia tidak menutup tempat penyimpanan tepung itu dengan cukup rapat. Padahal dengan tepung itu ia berencana membuat kue kayumanis wanginya yang selalu berhasil membuat jejak-jejak kecil tercipta ke arah dapur.

"Belum bisa minggu ini, Ibu, Arian masih di Bangkok, akan repot bawa si kembar ke rumah"

Mata mereka berkaca-kaca begitu membuka kiriman yang datang tadi siang, sebuah amplop tipis berukuran besar. Isinya beberapa lembar kertas A4 penuh coretan khas dari krayon berbagai warna. Gambar jalan raya menuju dua gunung hijau yang mengapit matahari yang tengah tersenyum. Gambar rumah dengan sawah bermotif kotak-kotak yang terhapmar dengan padi berbentuk centang. Serta gambar beberapa tokoh kartun dengan wajah ceria. Lembaran terakhir membuat air mata keduanya menetes haru, sebuah tulisan kaku dengan spidol biru muda.

"Apa kabar, kakek dan nenek? Dio dan Rio kangen"

Thursday, June 3, 2010

Pergi Membunuh

*demi sebuah masa menyenangkan, saat seragam putih-biru maupun putih-abu-abu masih membungkus jiwa muda yang mencari jati diri. tsaaahh.. Potongan karya masa SMP. enjoy :)*


“Pin, lo bilang pribahasa ‘anjing mengguguk khafilah berlalu’ berlalu artinya apa?”
“Artinya kita nggak boleh ngeliatin kapal hantu (baca: ghost ship (=gosip)) yang berseliweran. Nanti bisa kerasukan!”
“Salah! Ah, elu pin, pertanyaan gampang gitu aja nggak bisa!”
“Emang artinya apa?”
“Ar…tinya, Anjingnya di rantai! Coba kalo anjingnya di lepas, pasti khafilahnya bukan berlalu, tapi berlari!”

Cuplikan pembicaraan kecil nan sarat kebodohan di depan gue cukup bisa bikin pelajaran Tata Negara hari ini terabaikan. Suatu hal yang menyegarkan memang, apalagi jika mengingat guru Tata Negara, Pak Jauhari, lagi2 mengingatkan betapa pentingnya membuang sampah pada tempatnya dalam rangka menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. PENTINGNYA…

Kembali pada sepasang manusia gila yang sedang bercengkrama di depan gue. Yang pertama adalah Dhino Lorenzo. Anak ini sama sekali nggak ada hubungannya sama Mbak Dina Lorenza yang terkenal itu. Anak ajaib kelahiran ambulance 14 tahun lalu ini waras ABIS! (ampe ABIS warasnya) Di lihat dari tempat kelahirannya aja udah aneh! Katanya sih ambulance yang ngebawa nyokapnya ke rumah sakit kejebak macet di jalanan gara2 ada syuting film. Dhino yang dari kandungan udah banci kamera langsung maksain keluar waktu ada teriakan “Action!”. Nah, lahirlah bayi darurat itu dengan selamat. Mungkin keajaibannya masih tersisa sampe sekarang. Buktinya dia bisa ngerubah orang kedua yang gue maksud, Arifin, yang dulunya berotak cemerlang nan merki akan ngasih contekan lagi taat banget ama yang namanya peraturan juga mantan murid teladan jadi AriPin yang tak terdefinisikan.

Gue jadi inget waktu pertama kali Dhino masuk ke komunitas kelas X.2 di awal semester genap. Nggak ada pilihan lain selain jadi temen sebangku Arif cuz Cuma di situ bangku yang tersisa. Bukannya bermaksud mengelompokan seseorang tapi Arif (saat itu) emang nerd banget. Temen2nya aja cuma makhluk2 penunjang ilmu pengetahuan dan idupnya muter2 antara rumah, sekolah, dan tempat les. Jelas2 Arif saat itu sebel bgt ama Dhino yang bawaannya becandaaaaa mulu. Tapi, ternyata kegilaan Dhino dengan lancarnya bisa nular ke Arif.

***

Di depan kelas Pak Budiman masih tersenyum puas waktu melihat soal2nya yang tidak berperikemanusian sepertinya telah mencabiki otak kami. Entah apa yang di pikirkannya, tapi gue membatin, “Kami professional, Bung!”. Tentu saja guru muda itu tidak tahu wajah2 kesulitan yang kami pajang adalah tameng menutupi kebejadan kami yang tersimpan rapi di balik dasi, kerah, ikat pingggang, kaus kaki, handband, bahkan bicycle pants para gadis. Kantong adalah tempat rawan, tapi buat gue lipatan kantong adalah surga. Tempat paling aman untuk membuka para penyelamat kecil itu pastinya bukan lagi di kolong meja, terlalu mencurigakan! Lipatan kantong adalah tempat yang tepat, lagi2, rawan tapi aman.

Hmm… paling cuma Arif yang masih bekerja dengan jujurnya, tapi tunggu… Apa itu di kolong mejanya Arif, BUKU!!!
“Arif!” gue terhenyak
Sebuah bisikan yang cukup keras mengingat kelas yang lagi senyap. Arif yang tindakan kriminalnya terungkap langsung pasang wajah ‘plis-jangan-ngebuka-aib-gue’.
“Minjem penggaris dong…”
Sebuah tambahan yang useless.
“Nana, keluar kamu! Ulangan kamu akan bapak nilai sesuai dengan apa yang sudah kamu kerjakan sendiri, bukan hasil orang lain.”
Fiuuh, untung aja gue udah selesai…

Nggak lama kemudian, ulangan selesai. Arif jadi orang pertama yang menghambur keluar kelas.
“Na, maafin gue yah, gara2 gue lo jadi dikeluarin…”
“Nggak apa2 kali, Rif. Gue juga tadi udah selesai, kok. Tapi tadi lo beneran ngebet ya, Rif?”
“Iya, abis tadi malem gue keasikan ngerangkum ensiklopedia ampe lupa hari ini ada ulangan.”
Anjr*t! Ngerangkum apa tadi??!
“Tapi idup jadi pelaku kriminal tuh enak juga yah, memacu adrenalin!” Tambah Arif lagi.
“Hayo, beduaan aja!” seru Dhino yang baru keluar dari kelas. “Rip, berburu ke padang datar bagai rusa kembang tak jadi. Jika dikau bawa kue tart, hendaklah aku juga dibagi. Laper nih kekantin, yo’!”
“Iih, Dhino orang Arif lagi ngobrol ama gue juga!”
“Ja-jadi, engkau lebih memilih bersamanya, RiP? Jawab aku, Rip! Jawab!”
“Oke2, lo menang, nih ambil Arif-nya. Sok lah bawa! Jijay gue ngeliat lu kayak gitu!”
“Yah, Nana marah… Uuh.. kan Aa’ Dhino Cuma becanda…”
“Bodo! Sekali marah tetep marah!”
“Hidup marah!” dukung Arif.
“Yah, elu Rif, bukannya dukung gue!” Protes Dhino. “Ya udah, biar Nana nggak marah lagi gue kasih tebak2an aja deh, kalo lo bisa jawab, Arip jadi pacar lo, tapi kalo lo nggak bisa jawab gue deh yang jadi cowok lo. Cukup memuaskan kah penawaran gue?”
What is the meaning of his maksud?
“Tebak2annya adalah…”
“Woi, gue kan belom setuju ama penawaran lu!”
“Kenapa Adam diciptain lebih dulu dari pada Hawa?”
Anak edan! Pertanyaan macem apa lagi ini?
“Eng… Engak tau ah! Lagian, pasti jawabannya aneh.”
“Hm… segitunya ya, Na, lo mau jadi cewek gue? Sampe pura2 nggak tau…”
“Sarap! Udah deh, cepetan jawabannya apa?!”
“Karena… secara Alphabetis nomor absen Adam lebih kecil daripada Hawa, jadi dia disuruh maju duluan.”
“Kamfreeetz… Jayus!” protes gue.

***

Menjelang ujian blok (mid-test), AriP kembali ke habitat aslinya. Aura belajarnya kembali kecang tersirat disetiap jejak langkah, tiap tatapan mata, tiap raut wajah, tiap peluh membasahi... (oke2, itu udah kejauhan) yang jelas, there is no Aripin Anymore! Candaan Dhino cuma ditanggepin dingin dan puncaknya tadi siang.
“Rip, lo tau nggak, ingus itu ada 3 macem? Kalo kuning itu berarti itu virus, kalo ijo itu gara2 ada bakterinya, trus kalo bening kayak yang gue semprot tiap pagi itu berarti pileknya gara2 alergi…”
“Dhin! Lo tau kan gue lagi belajar?! Mau Ingus lo warna pelangi juga kalo masih belom bisa bikin lo waras nggak bakal guna!”
Dhino, terhenyak. Keliatan banget dia bener2 kaget, walopun masih berusaha bersikap konyol.
“Nana!!! Arip jahat! Masa’ Dhino dibilang nggak waras…”
“Apa?! Bisanya ngadu! Udah ah! Gue mau belajar di perpus!”
Dengan kasar Arif mengambil bukunya dan berjalan ke luar kelas.
“Well, masalah waras ato nggaknya elo sih, gue no comment kali ya…” gue mengomentari pernyataan Arif. “Elo juga sih pake bawa2 ingus segala…”
“Ah… Nana! Arip itu bagai kacang lupa akan plastiknya!”
“Kulitnya kali, Dhin?”
“Yang gue maksud kan kacang atom! Nggak ada kulitnya! Ada juga terigunya!”
“Maksa!”
“Biarin! Ayolah, Na… Bantuin gue, lo kan cewek gue…”
“Huwoi… Sejak kapan, Mas?”
“Sejak lo nggak bisa jawab tebak2an gue…”
“JOOOOOO!! Masih dibahas aja!”

***

MATEMATIKA DAN SEJARAH. Minta dihajar tu yang bikin jadwal test! Masanginnya kombo bgt! Alhasil tadi gue harus bekerja keras merangkum semua hal2 penting dari dua pelajaran itu! Awas aja kalo bagian kata pengantar dan daftar pustakanya keluar!
Suasana damai pagi ini luluh lantah oleh suara2 gaib dari ruang ujian 4. Bener aja Dhino dan Arif lagi becanda dengan serunya.
“Udah baikan nih ceritanya??”
“Udah dong!!!” jawab mereka kompak.
“Kemaren ada yang jealous tuu…” goda Dhino ambil menyikut2 Arif.
“Abis, lu maen motong jalan aja sih! Pake ngasih tebak2an segala! Nggak aci (adil), ah!”
“Lha, itu namanya kreatip, bang!”
Yee… ni anak dua malah pada ngomong nggak jelas.
“Woi!! Yang jelas dong! Ada apa, sih??” seru gue.
“Gini, Na…” Arif menjelaskan “Gue marah ama Dhino lantaran dia pake cara gampangan buat dapetin lo”
“Dapetin gue?”
“Iya, Na. Pake tebak2an yang waktu itu…”

Gue nggak tau apa harus tersipu malu nerima kenyataan dua anak ini berusaha bilang bahwa mereka suka ama gue. Tapi kayaknya gue lebih dulu bakal ngejitak dua kepala bodoh di depan gue karena mereka nyimpulin jawaban gue lewat tebak2annya Dhino.
“Pertama, Nggak ada yang jadian ama gue terlepas dari bisa ato nggak gue jawab tebak2an jayus itu. Kedua,…” gue memberi jeda “MENDINGAN GUE MATI NABRAK daripada kudu jadian ama salah satu dari lo bedua dan akhirnya ngerusak duo paling GO-KILL yang pernah gue temuin!”
Dhino dan Arif terdiam. Lalu Dhino mulai bergumam.
“Go-Kill… Go. Kill. Hmm…”
“Pergi Membunuh. I love it!” seru Arif
“Gue juga!” Dhino menyetujui “Arif dan Dhino pergi melintasi batas langit membunuh kesemuan dunia!”
“Huwa… Seru tuh! Memberi tawa canda pada setiap wajah yang murung!”
Dua anak itu pun kembali seru dengan obrolannya. Kok gue jadi nyesel ya, ngomong GO KILL?? Hah… sudahlah, yang penting matahari sudah bersinar lagi hari ini!
“Na, tunggu!” panggil Arif.
“Iya?”
“We Love You!!!” seru mereka berdua.
Dasar Go Kill!!