Saturday, November 20, 2010

Senja Hari dan Langit Sore

*Pernah jadi sebuah hadiah ulang tahun bagi seorang teman juga sebuah inspirasi bagu suatu proyek yang bersama seorang teman. Two special events, two happiness. enjoy :)*

Arlana berjalan dibawah hujan yang turun layaknya serpihan salju, namun pikiran itu segera saja menimbulkan tawanya. Salju? Yang benar saja. Paling tidak, tawa itu menghasilkan senyum yang bertahan beberapa menit sebelum ia sadar telpon selularnya bergetar.

Nada tunggu itu berubah menjadi sebuah sapaan dari putrinya yang sudah lama ia nanti. Entah kenapa Giana rindu sekali dengan anak semata wayangnya tersebut. Malam tadi ia memimpikan saat-saat ia bermain dengan Arlana kecilnya, belasan tahun lalu. Padahal ia tidak pernah membuka album yang sekiranya dapat merasuk alam bawah sadar dan memasukan kenangan itu dalam mimpinya.

Hujan yang membesar membuat Arlana buru-buru mematikan telponnya. Hari ini ia lupa membawa payung, dan kenyataan itu membuat ia menyesal telah mengambil jalan memutar hanya karena ingin menkimati teduhnya langit dan basahnya udara sore itu. Sebuah warnet menggoda langkahnya, tempat berteduh yang akan terlalu mahal pikirnya karena hujan mungkin tidak akan berlama-lama mengguyur, namun tetap saja ia melangkah masuk.

***

Ia mendengar pintu terbuka, membawa serta suara deru angin dan hujan di luar. Padahal ia telah selesai mencari tugasnya dan ingin segera mengakhiri petualangannya di dunia maya yang sudah berlangsung lebih dari 5 jam. Namun, sebuah suara memanggil, ”Fendi”, ia tersenyum sekenanya, nampaknya gadis yang baru masuk itu mengenalnya. Apapun untuk menghindari pembicaraan lebih jauh, menurut Fendi itu pilihan yang tepat kali ini. Ia mengantuk. Namun suara pembicaraan telpon dari bilik sebelah membuatnya sedikit terganggu.

Sebagai mahasiswa tahun kedua, Median sudah merasa hampir muak dengan tugas-tugas yang rasanya tidak pernah habis semenjak ia menanggalkan seragam putih abu-abu, dan sore ini semua itu tumpah di telinga temannya yang sekarang terjebak hujan di sebuah warnet, entah dimana. Ia tidak peduli walaupun hujan menyebabkan koneksi mereka seringkali terganggu karena cuaca sore ini. Ia hanya ingin sedikit meringankan kepalanya. Sayang kali ini sisa rupiah di selulernya tidak mengijinkan pembicaraan itu untuk berlangsung lebih lama. Padahal temannya baru saja mulai menceritakan tentang pemuda yang ia temui di warnet.

Fendi sedikit senang pembicaraan itu berakhir, suara gadis di sebelahnya memang tidak keras, tapi kadang warnet merupakan tempat yang bisa menjadi sangat tenang karena setiap biliknya berlaku bagai pasir isap yang akan menelan penggunanya ke dunia maya. Dan ia menyukai itu, ketenangan yang bahkan jarang ia jumpai di perpustakaan. Melihat hujan di luar yang mulai mereda Fendi memutuskan untuk pergi, sedikit tersiram gerimis mungkin, namun ia tidak peduli. Sebuah chat yang masuk pun diabaikannya, ia hanya ingin pulang saat ini.

***
Chat itu tak berbalas. Mungkin adiknya itu masih enggan bicara dengannya, pikir Dion. Walau ia tidak pernah bosan mencoba menghubungi Fendi lewat berbagai jalur komunikasi, tetapi ia masih belum bisa mendapat jawaban lebih dari berbagai jawaban sekedarnya. Adiknya makin menarik diri dari keluarga besar mereka semenjak ia menuntut ilmu di kampus idamannya. Namun, Dion tau, Fendi sama sekali tidak mengidamkan masuk kampus manapun, adiknya hanya ingin berada jauh dari jangkauan orang tua mereka. Jauh dari semua tuntutan seorang dokter dan ahli fisika yang selalu menuntut terlalu banyak di rumah. Tanda online adiknya sudah hilang, entah kemana, namun berarti usahanya gagal lagi kali ini. Dion pun menghela nafas panjang lalu menyeruput moccachino favoritnya pelan. Tak lama, sebuah tepukan pelan di bahu menghentikan aliran hangat itu.

Tidak butuh waktu lama untuk mengenali sosok Dion dari belakang, tadinya Giana hanya ingin menyapanya, namun raut wajah hangat Dion gagal membuatnya untuk langsung beranjak. Ia tidak menyangka bisa melihat Dion lagi di caffe yang sama setelah beberapa lama memutuskan untuk mengurangi frekuensi pertemuan mereka. Dion lebih muda bertahun-tahun darinya, dan lebih cocok apabila Giana mengenalkan pemuda itu pada anaknya yang kuliah di luar kota. Namun di masa lalu, arah pembicaraan mereka sempat membawa dua insan itu pada maksud yang lain. Setelah berkali-kali menolak rasa yang hadir, sore ini, ia bertemu lagi dengan pemuda yang pernah mengisi harinya dan tak bisa mengelak dari obrolan panjang yang menyenangkan.

Nira tidak bisa mengalihkan perhatian dari sudut caffe tempatnya bekerja, seorang pemuda berumur duapuluhsekian dengan wanita yang cukup mapan mengobrol hangat semenjak shiftnya dimulai dua jam lalu. Sulit rasanya menghindari pikiran jahil yang muncul kemudian, lagi pula caffe ini memang seringkali dikunjungi pasangan-pasangan yang agak ”meragukan” statusnya. Tak tahan menanggung otak yang berspekulasi sendiri, Nira pun mengirimkan pesan singkat pada teman karibnya di kota lain.

***

Pesan singkat itu datang bagai angin segar di musim panas. Namun, tawa terbahak Median terhenti seketika ia menyadari listrik di kamarnya padam. Ia tertunduk lemas, hasil ketikannya belum ia simpan. Kepalanya panas, dan rasanya ia benar-benar perlu angin segar dalam bentuk sebenarnya. Semburat berbagai warna di luar jendela mengundang dirinya untuk melangkah meninggalkan kamar.

Listrik padam dan si operator yang malang itu harus melayani semua orang yang serentak memutuskan meninggalkan warnet itu. Sebenarnya Arlana ragu harus senang atau tidak ia berada di antrian pertama, ia pikir gerimis masih bersisa, namun begitu langkahnya keluar dari warnet, senyumnya mengembang. Langit seakan dipenuhi pelangi.

Fendi belum juga sampai di kost, padahal kantuknya begitu berat saat ia di warnet tadi. Gerimis sore ini begitu menggoda. Membuat sepatu converse tuanya tidak rela untuk berhenti. Terlebih lagi warna-warni diatas sana memberikannya alasan untuk terus menikmati senja.
***

Siapa sangka senja hari di kota itu dapat mengeluarkan semburat warna-warna indah setelah berhari-hari dinaungi awan mendung. Namun tidak banyak yang menyempatkan diri berlama-lama mendongak ke atas dan menikmati sajian alam itu. Akan tetapi ada tiga orang yang rakus menelan keindahannya, dengan penuh harap di kepala masing-masing.

Di bawah langit sore di kota yang lain, jalanan basah tengah mengering. Sebuah mobil pembawa bahan bakar keluar dari jalur dan menabrak sebuah caffe di pinggir jalan protokol. Sebuah ledakan besar dan kobaran api yang menjilat tinggi tercipta dengan indah, ironis. Jingga yang menggelora itu menunda sejenak warna malam untuk datang.