Friday, June 17, 2011

Ken(apa)

Ken menarik kembali selimutnya. Kepalanya masih berat. Entah apa yang ia gelontorkan ke dalam kerongkongannya semalam. Rasanya tidak mungkin 2 butir obat sakit kepala bisa menyebabkan ini. Atau mungkin ia meminumnya dengan sesuatu yang dapat menjadi kombinasi buruk dan memecah sadarnya seketika?

Aaaahhh! Kenapa tubuhnya juga terasa lemah dan aneh. Nyawanya seperti tinggal seperdelapan. Ia bahkan harus bersusah payah bangkit saat alarm selulernya berdering kencang. Rasanya seperti jarum yang menusuk genderan telinganya atau ada burung bangkong yang memekik keras di sampingnya. Sialnya, seluler itu berada jauh di ujung ruangan.

"Brengsek!" Makinya. Ide brilian siapa yang menaruh alarm begitu jauh. Jika ada senapan di tangannya, pasti ia tak akan ragu membungkam benda canggih itu dengan satu tembakan. Ia tak peduli tentang lembar rupiah telah ia keluarkan. Semua itu tak berguna lagi ketika dunia terasa begitu gelap.

Namun ia ingat, dunia pernah terang. Bahkan gemerlapan dengan cahaya. Ribuan tepuk tangan terdengar seperti suara surga. Ia ingat berdiri di atas sana. Sebuah panggung yang sederana dalam gedung megah setara dengan Opera House di Sidney. Ia memakai setelan terbaiknya. Kakinya berbalut sebuah sepatu yang disemir begitu sempurna sampai berkilat-kilat.

Mengapa ia disana? Ia tidak bisa ingat. Semuanya tiba-tiba luluh lantak seperti cermin yang dihantam palu. Prang! Yang kemudian ia ingat hanya suara mesin-mesin aneh di rumah sakit. Sebuah kejang dasyat dan ia kembali ke dalam gelap. Saat ia bagun semua orang nampak bahagia. Ada perempuan tua dengan wajah hangat menangis haru. Sesosok pemuda yang nampak lebih muda darinya berlari keluar kamar dan kembali dengan membawa dokter-dokter yang membawa berbagai peralatan untuk mengecek kesadarannya.

Sampai kini ia tidak pernah mengerti apa yang terjadi. Ia juga masih menyusun segala kenangan dan membangun dirinya kembali. Dengan puluhan piala yang ia lihat saat ia pulang ke rumah mungkin ia seorang yang berprestasi. Lembaran piagam yang dipajang di dinding membuatnya berpikir mungkin ia cukup pandai. Terakhir, sebuah grand piano di sudut rumah itu membuatnya yakin, ia pasti seorang musisi. Tampan, kaya, dan berbakat.

Mengingat semua itu membuat kepalanya kembali terasa berat. Bahkan makin berat. Tubuhnya makin kaku dan kini terasa dingin. Dinding kamarnya terasa seperti akan runtuh namun ia tak bisa berkutik.

”Ken! Ken! Ken!” seru ribuan suara yang terdengar memanggil. Tapi dimana? Darimana? Seiring suara yang terus bersautan, Ken pun pasrah. Mungkin ini akhir hidupnya. Ia menyayangkan keabsurdan yang menelannya. Yang tak bisa dicerna sekalipun dengan logika paling sederhana. Saat suara-suara itu tiba-tiba hilang, Ken pun kembali dalam gelapnya.


”Kasian Kak Ken, Oma. Sudah hampir sebulan dia koma. Kapan dia bangun, Oma?”
”Entah, Oma juga tidak tau. Tetaplah berusaha berdoa dan ajak dia bicara. Siapa tau dia bisa mendengarmu dari alam bawah sadarnya”
“Iya, Oma. Tadi aku bercerita tentang pertunjukan Kakak yang terakhir sebelum ia tumbang diatas panggung. Aku bercerita tentang ribuan standing ovation. Resital piano terbaik yang pernah ada.”

Friday, March 25, 2011

Terbang

Daya terbang lagi malam ini. Ia hanya memulainya dari berjalan, berlari, dan kemudian… lepas landas. Begitu saja. Seperti sebuah pesawat terbang. Ia membiarkan angin mempermainkan dirinya, mengaturnya kemana ia berbelok meghindari kumpulan awan berpetir, maupun ketika turbulensi mengajaknya menukik.
Sekumpulan burung yang sedang terbang melihatnya dengan heran. Lagi-lagi, pikir mereka. Lagi-lagi para manusia menjajah langit. Belumkah cukup burung-burung besi itu meninggalkan bunyi bising?
Mereka terbang ke arah Daya dan mematukinya. Pergi! Pergi! Mungkin itu yang akan mereka katakan padanya bila mereka bisa berbincang. Disaat yang sama angin menolak membantu Daya untuk tetap mengitari langit. Dengan kecepatan yang sangat tinggi Daya, tertarik ke bawah. Dataran, dimana ia memang sudah seharusnya berada.
Cahaya-cahaya kecil yang terlihat indah dari langit, kini kian menakutkan. Secepat titik cahaya itu berubah menjadi lampu-lampu yang menerangi sebuah formasi solid berbagai bentuk bangunan. Ia tidak lagi mampu berteriak, ketika tepat di bawahnya menanti suatu jalan aspal untuk dihantam.

Bangkit bukan hal mudah ketika entah berapa tulangmu yang retak maupun patah. Seperti yang Daya coba lakukan saat ini. Bagaimana ia bisa hidup? Suara-suara bergemerisik dari semut-semut yang berarak pulang. Sarang mereka berada di retakan di bawah trotoar, di samping jalan yang dihantam Daya. Pasti jika dialasi tanah, jatuhnya tidak akan begitu keras. Ujar seekor semut yang sedang membantu mengangkut buntut tikus yang tertabrak malam lalu.
Suara gemerisik muncul kembali dari kerabat semutnya. Tapi kali ini tentang apa yang sedang mereka lakukan. Hmm, jika tidak ada kita, apa ada manusia yang membersihkan bangkai tikus ini? Seekor kerabatnya menjawab pertanyaan itu. Tidak mereka akan membiarkannya, mengering diterpa matahari yang makin panas tiap waktunya. Mereka juga akan membiarkannya dilindas oleh roda-roda karet dari mesin berjalan mereka.
Para semut itu tercerai berai oleh langkah Daya yang gamang di atas mereka. Kita akan terinjak! Kita akan terinjak! Seru mereka. Beruntung ternyata Daya melangkah ke arah sebaliknya. Ia mengarah ke sebuah pohon di tepi jalan. Ia hanya butuh berpegangan saat ini. Kepalanya terasa sangat pusing. Tak lama, ia pun jatuh kembali. Dan kali ini bahkan matanya tidak sanggup untuk mempertahankan kelopaknya untuk terbuka.

Pagi yang ramai. Orang-orang berkerumun untuk melihat tubuh Daya yang mereka kira sudah tak bernyawa, sampai sebuah ambulance datang dan membawa Daya pergi, sekaligus membubarkan kerumunan itu. Daya telah mengacaukan suasana tenang yang biasa dinikmati tiga ekor tupai di pagi hari di atas pohon pinggir jalan tersebut. Lagi-lagi para manusia membuat keributan! Belum cukup mereka menebang rumah-rumah kita yang dulu? Ini satu-satunya pohon yang masih cukup nyaman, dan mereka masih ingin mengganggu kenyamanan ini?!

Daya tau dia masih akan hidup. Lain kali ia akan kembali mengangkasa. Lain kali angin menghantarkannya kembali ke atas untuk setelahnya menembus batas cakrawala. Akan tetapi, lain kali itu tidak pernah datang. Orang-orang mencapnya gila. Ia pun mulai kehilangan segalanya. Mulai kehilangan senyuman teman-temannya. Mulai kehilangan kepercayaan keluarganya. Dan kini ia telah ditinggalkan dalam dunianya. Dunia dimana ia terus mencoba terbang.
Hanya seekor kucing yang tiap hari menemaninya. Melihat bagaimana Daya mencoba menambah kecepatan larinya agar dapat lepas landas lalu terbang seperti sebelumnya. Ia tidak menyerah, walaupun sudah berkali-kali ia jatuh tersungkur. Walaupun kedua kakinya sudah menjerit kesakitan, ia tidak menyerah. Tapi sang kucing mulai lelah melihat aksi tuannya. Manusia bisa terbang hanya dengan berlari? Lalu besok aku tidak lagi akan takut air. Pikirnya sinis. Mengapa manusia harus begitu aneh?

Daya akan mempertaruhkan segalanya hari ini. Hari inilah dimana ia menemukan jalan tertinggi menuju lagit. Sebuah tebing yang menjadi landasan vertikal. Ia yakin tirai-tirai sinar matahari yang dibentuk kumpulan awan menandakan sesuatu. Yaitu sebuah kesempatan lagi. Untuk terangkat oleh angin.
Ia memulainya. Berjalan perlahan, lalu berlari, semakin cepat dan semakin cepat ketika mencapai bibir tebing.
Tak perlu ditanyakan hasilnya. Ia gagal. Terjatuh. Dan kali ini menghantam laut di bawahnya. Menciptakan buih-buih kecil saat tubuhnya kian tertarik ke dasar samudra. Kawanan ikan dan makhluk laut lainnya melihat tubuh Daya yang sudah tidak bernyawa dengan heran. Setelah menjatuhkan berbagai makanan dengan rasa yang aneh dan susah ditelan, apa para manusia itu sudah kehabisan barang untuk dibuang ke laut? Sampai harus membuang sesamanya? Seekor ikan lain menanggapi pertanyaannya dengan singkat. Sudahlah, mari makan.

Monday, March 7, 2011

Sang Putri Bintang

Vermin menatap kosong ke langit. Bintang yang bercahaya begitu cemerlang justru menambah kesalnya. Mereka seakan mentertawakan kondisinya yang mengenaskan.

Ia mengerang pelan saat luka di sayapnya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ksatria berbaju zirah keperakan itu hampir mengoyak putus salah satu salah satu sayap kebanggaannya. Belum lagi, Sang Ksatria juga mencuri gadis pujaannya.

Pertarungannya dengan Sang Ksatria datang dan berlalu dengan begitu cepat. Kedua sayapnya tak mampu menghindari kelincahan sang ksatria yang melancarkan serangan-serangan mematikan. Ia dibuat tak mampu berkutik.

Tak sampai matahari terbenam, Vermin sudah tersungkur tak berdaya dihadapan Sang Ksatria. Entah berapa banyak belulangnya yang patah, yang jelas ia merasa remuk. Saat pandangannya nyaris menggelap, ia melihat Sang Ksatria pergi membawa serta serpihan hatinya. Di atas seekor kuda putih paling indah yang pernah ia lihat, Sang Ksatria dan Putri menjauh meninggalkannya.

Ia mengutuk Sang Ksatria untuk tidak menghujamkan pedang perak itu ke jantungnya. Sang Ksatria harusnya mengambil serta nyawanya, bukan meninggalkannya atas sebuah nilai bodoh ”tidak membunuh lawan yang telah menyerah”, karena demi apapun, Vermin sesungguhnya tidak pernah menyerah. Ia masih ingin bangkit, menerjang, dan melanjutkan pertarungan mereka. Namun, tenaganya tiada lagi bersisa.

Kini ia hanya bisa mengijinkan alam pikirnya mengulang kekalahan hari ini seperti mimpi buruk yang tak pernah usai.

”Aku mencintaimu, Vermin”
”Benar, Putri?”
Gadis di depannya mengangguk dan tersenyum. Matanya birunya bersinar cemerlang. Seperti bintang.

Tuesday, February 8, 2011

Good Person

“Good people are taken, into someone, or not into relationship”

**

Raga berdiri di pinggir lapangan basket. Jari-jarinya terkait pada kawat pagar yang berfungsi untuk menghalagi orang bodoh yang termenung di pinggir lapangan sepertinya untuk terkena pantulan bola nyasar yang pasti akan merobohkannya dalam satu kali serangan. Ia tidak memperhatikan apapun yang bergerak di dalam lapangan tersebut. Tidak dribble yang tiada berhenti maupun treepoint yang tak pernah meleset. Ia mempunyai sesuatu yang menguasai pandangnya.
Wajah manis dihiasi bibir mungil berwarna pink, mata bercahaya dengan bulu mata yang lentik, serta rambut yang tergerai sempurna tanpa kusut walaupun angin berhembus tanpa ampun hari ini. Hari ini ia memakai jeans biru muda dan sweater rajut hitam yang kian menambah kontras pada kulit putihnya. “Claris”, Raga bergumam pelan. Tak akan cukup untuk menjangkau pendengaran gadis itu. Raga memang tak ingin memanggilnya, terlalu beresiko kerena gadis itu bahkan hanya tahu mereka pernah satu kelas saat di sekolah dasar. Bahkan mungkin ia tak ingat sama sekali. Hal terberani yang Raga bisa lakukan adalah menyimpan angannya selama bertahun-tahun.
Tanpa sadar, permainan sore ini telah selesai. Para pemuda tegap itupun beranjak ke pinggir lapangan, salah satunya berjalan ke arah Clarissa lalu ia berkata ”Sayang, pulang yuk!”

***
Selulernya tak kunjung membuatnya senang, benda yang seharusnya canggih itu menunjukan tanda low-batt. Padahal belum ada setengah hari ia memakainya. Rassel terpaksa men-chargenya dengan keadaan hidup. Sebuah hal yang tabu ia lakukan sebenarnya. Dari penjual di toko seluler, ia dinasehati untuk tidak membiarkan selulernya menyala saat mengisi baterai. ”Nanti batrenya cepet soak, mbak.” ujar si penjual saat itu. Saat ini, ia terpaksa membuat pengecualian
Rassel tak ingin melewatkan dering nada pesan masuk dari selulernya. Ia ingin melihat nama Arka muncul dan membuatnya terlonjak senang. Pemuda itu akan membawanya ke pembicaraan aneh yang selalu menarik walaupun kadang ia perlu membaca lebih lanjut tentang apa yang mereka bicarakan. Namun yang muncul satu jam kemudian hanyalah tulisan ”Battery fully charged” yang menluluhkan semangatnya.
Rassel menghela nafas. Ia tahu selulernya tak akan menunjukan apapun. Tidak berdering dengan nada pesan masuk, apalagi sambungan telepon. Tidak mungkin ada naman Arka dilayar tersebut. Ia sadar Arka sebenarnya tidak pernah membawanya ke pembicaraan aneh yang selalu ia nikmati, malah sebaliknya ia yang menciptakan topik-topik itu, Arka hanya menanggapi dan memberikan sudut pandang yang selalu memikatnya. Sialnya, pengolahan data di kepala Rassel sudah bercampur dengan perasaan aneh yang membuat logikanya menjadi kacau saat mendengar statement Arka beberapa waktu lalu, ”I enjoy being single”.

***

Raga dan Rassel. Mungkin mereka terpisah puluhan kilometer di kota yang berbeda. Atau hanya belasan kilometer di tempat yang beda. Maupun berselisih beberapa meter di ruangan yang berbeda. Dimanapun keberadaannya, kedua orang itu tetap akan menjadi individu kesepian karena mengisi kepalanya dengan sosok hampir maya yang bahkan tak pernah memikirkan mereka.

***

"A good person is those who stupidly keep an empty hope to feel full"