Friday, July 23, 2010

Namun Argo

Banyak hal yang telah diambil Namun dari seorang Argo.

Namun mengoyak mimpinya...
"Jadi penulis?! Jangan tinggi-tinggi punya mimpi! Tulisan kamu tuh gak sebagus itu. Lagian, kamu mau makan kertas kalo tulisan kamu enggak laku?! Bapak tidak ijinkan kamu mencoret-coret tidak penting seperti itu!"

meremehkan idenya..
"Bayangin yang nyata aja deh Go, gak mungkin ya kamu bisa bikin dunia lebih baik dengan cuma nebar senyum kayak gitu, kakak sih cuman mau kamu realistis aja, Go."

dan berkata sinis pada obsesinya...
"Ariana?! Lo naksir Ariana?! Sadar diri dong, Pangeran! Gue aja gak maksa buat terus ngejar si Kelly, mana mau cewe kayak gitu ama tampang2 macem gue. Nah samanya juga elo kudu sadar gak ngarep2 ama Ariana!"

Namun juga mengekangnya dalam identitas yang tidak ia inginkan...
"Kamu itu dari kecil introvert Argo, kamu gak bisa ada dilingkungan yang ramai. Emosi kamu labil dan bisa meledak kapan aja. Kamu masih kayak anak-anak, Go"

Argo membenci Namun, akan tetapi Argo tak bisa melepaskan diri dari Namun, jika ia ingin Namun pergi maka ia harus pergi meninggalkan dunia. Paling tidak begitu satu-satunya jalan keluar yang pernah ia pikirkan.

Sayang, Namun lagi-lagi menghalanginya,
"bunuh diri itu dosa tau!"

Sekarang, Namun berdiri di depan pintunya, menghalaginya untuk keluar dan mengintip apa yang ditawarkan dunia pagi ini. Namun juga mengikatnya di lantai, tempat ia teronggok lemah karena belum menyuapkan makanan padat ke lambungnya semenjak 2 hari lalu. Argo melirik lesu ke secarik kertas yang ditempel namun di pojok layar LCDnya,
"Pantang keluar sebelum didadar*". Dengan sisa tenanganya, Argo pun kembali bergumul dengan teori.

Namun tersenyum melihat ia yang sudah tak lagi punya daya untuk melawan, namun telah menang.

*di"dadar" dari kata "pendadaran", istilah untuk "sidang akhir" yang digunakan beberapa universitas.