Friday, March 25, 2011

Terbang

Daya terbang lagi malam ini. Ia hanya memulainya dari berjalan, berlari, dan kemudian… lepas landas. Begitu saja. Seperti sebuah pesawat terbang. Ia membiarkan angin mempermainkan dirinya, mengaturnya kemana ia berbelok meghindari kumpulan awan berpetir, maupun ketika turbulensi mengajaknya menukik.
Sekumpulan burung yang sedang terbang melihatnya dengan heran. Lagi-lagi, pikir mereka. Lagi-lagi para manusia menjajah langit. Belumkah cukup burung-burung besi itu meninggalkan bunyi bising?
Mereka terbang ke arah Daya dan mematukinya. Pergi! Pergi! Mungkin itu yang akan mereka katakan padanya bila mereka bisa berbincang. Disaat yang sama angin menolak membantu Daya untuk tetap mengitari langit. Dengan kecepatan yang sangat tinggi Daya, tertarik ke bawah. Dataran, dimana ia memang sudah seharusnya berada.
Cahaya-cahaya kecil yang terlihat indah dari langit, kini kian menakutkan. Secepat titik cahaya itu berubah menjadi lampu-lampu yang menerangi sebuah formasi solid berbagai bentuk bangunan. Ia tidak lagi mampu berteriak, ketika tepat di bawahnya menanti suatu jalan aspal untuk dihantam.

Bangkit bukan hal mudah ketika entah berapa tulangmu yang retak maupun patah. Seperti yang Daya coba lakukan saat ini. Bagaimana ia bisa hidup? Suara-suara bergemerisik dari semut-semut yang berarak pulang. Sarang mereka berada di retakan di bawah trotoar, di samping jalan yang dihantam Daya. Pasti jika dialasi tanah, jatuhnya tidak akan begitu keras. Ujar seekor semut yang sedang membantu mengangkut buntut tikus yang tertabrak malam lalu.
Suara gemerisik muncul kembali dari kerabat semutnya. Tapi kali ini tentang apa yang sedang mereka lakukan. Hmm, jika tidak ada kita, apa ada manusia yang membersihkan bangkai tikus ini? Seekor kerabatnya menjawab pertanyaan itu. Tidak mereka akan membiarkannya, mengering diterpa matahari yang makin panas tiap waktunya. Mereka juga akan membiarkannya dilindas oleh roda-roda karet dari mesin berjalan mereka.
Para semut itu tercerai berai oleh langkah Daya yang gamang di atas mereka. Kita akan terinjak! Kita akan terinjak! Seru mereka. Beruntung ternyata Daya melangkah ke arah sebaliknya. Ia mengarah ke sebuah pohon di tepi jalan. Ia hanya butuh berpegangan saat ini. Kepalanya terasa sangat pusing. Tak lama, ia pun jatuh kembali. Dan kali ini bahkan matanya tidak sanggup untuk mempertahankan kelopaknya untuk terbuka.

Pagi yang ramai. Orang-orang berkerumun untuk melihat tubuh Daya yang mereka kira sudah tak bernyawa, sampai sebuah ambulance datang dan membawa Daya pergi, sekaligus membubarkan kerumunan itu. Daya telah mengacaukan suasana tenang yang biasa dinikmati tiga ekor tupai di pagi hari di atas pohon pinggir jalan tersebut. Lagi-lagi para manusia membuat keributan! Belum cukup mereka menebang rumah-rumah kita yang dulu? Ini satu-satunya pohon yang masih cukup nyaman, dan mereka masih ingin mengganggu kenyamanan ini?!

Daya tau dia masih akan hidup. Lain kali ia akan kembali mengangkasa. Lain kali angin menghantarkannya kembali ke atas untuk setelahnya menembus batas cakrawala. Akan tetapi, lain kali itu tidak pernah datang. Orang-orang mencapnya gila. Ia pun mulai kehilangan segalanya. Mulai kehilangan senyuman teman-temannya. Mulai kehilangan kepercayaan keluarganya. Dan kini ia telah ditinggalkan dalam dunianya. Dunia dimana ia terus mencoba terbang.
Hanya seekor kucing yang tiap hari menemaninya. Melihat bagaimana Daya mencoba menambah kecepatan larinya agar dapat lepas landas lalu terbang seperti sebelumnya. Ia tidak menyerah, walaupun sudah berkali-kali ia jatuh tersungkur. Walaupun kedua kakinya sudah menjerit kesakitan, ia tidak menyerah. Tapi sang kucing mulai lelah melihat aksi tuannya. Manusia bisa terbang hanya dengan berlari? Lalu besok aku tidak lagi akan takut air. Pikirnya sinis. Mengapa manusia harus begitu aneh?

Daya akan mempertaruhkan segalanya hari ini. Hari inilah dimana ia menemukan jalan tertinggi menuju lagit. Sebuah tebing yang menjadi landasan vertikal. Ia yakin tirai-tirai sinar matahari yang dibentuk kumpulan awan menandakan sesuatu. Yaitu sebuah kesempatan lagi. Untuk terangkat oleh angin.
Ia memulainya. Berjalan perlahan, lalu berlari, semakin cepat dan semakin cepat ketika mencapai bibir tebing.
Tak perlu ditanyakan hasilnya. Ia gagal. Terjatuh. Dan kali ini menghantam laut di bawahnya. Menciptakan buih-buih kecil saat tubuhnya kian tertarik ke dasar samudra. Kawanan ikan dan makhluk laut lainnya melihat tubuh Daya yang sudah tidak bernyawa dengan heran. Setelah menjatuhkan berbagai makanan dengan rasa yang aneh dan susah ditelan, apa para manusia itu sudah kehabisan barang untuk dibuang ke laut? Sampai harus membuang sesamanya? Seekor ikan lain menanggapi pertanyaannya dengan singkat. Sudahlah, mari makan.

Monday, March 7, 2011

Sang Putri Bintang

Vermin menatap kosong ke langit. Bintang yang bercahaya begitu cemerlang justru menambah kesalnya. Mereka seakan mentertawakan kondisinya yang mengenaskan.

Ia mengerang pelan saat luka di sayapnya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ksatria berbaju zirah keperakan itu hampir mengoyak putus salah satu salah satu sayap kebanggaannya. Belum lagi, Sang Ksatria juga mencuri gadis pujaannya.

Pertarungannya dengan Sang Ksatria datang dan berlalu dengan begitu cepat. Kedua sayapnya tak mampu menghindari kelincahan sang ksatria yang melancarkan serangan-serangan mematikan. Ia dibuat tak mampu berkutik.

Tak sampai matahari terbenam, Vermin sudah tersungkur tak berdaya dihadapan Sang Ksatria. Entah berapa banyak belulangnya yang patah, yang jelas ia merasa remuk. Saat pandangannya nyaris menggelap, ia melihat Sang Ksatria pergi membawa serta serpihan hatinya. Di atas seekor kuda putih paling indah yang pernah ia lihat, Sang Ksatria dan Putri menjauh meninggalkannya.

Ia mengutuk Sang Ksatria untuk tidak menghujamkan pedang perak itu ke jantungnya. Sang Ksatria harusnya mengambil serta nyawanya, bukan meninggalkannya atas sebuah nilai bodoh ”tidak membunuh lawan yang telah menyerah”, karena demi apapun, Vermin sesungguhnya tidak pernah menyerah. Ia masih ingin bangkit, menerjang, dan melanjutkan pertarungan mereka. Namun, tenaganya tiada lagi bersisa.

Kini ia hanya bisa mengijinkan alam pikirnya mengulang kekalahan hari ini seperti mimpi buruk yang tak pernah usai.

”Aku mencintaimu, Vermin”
”Benar, Putri?”
Gadis di depannya mengangguk dan tersenyum. Matanya birunya bersinar cemerlang. Seperti bintang.