Saturday, December 4, 2010

Drama Toilet Ibukota

Sebagai seorang pemuda lulusan SMP, aku cukup berutung bisa mendapat pekerjaan di kota besar. Gedung tempatku bekerja pun merupakan satu dari bagunan paling mewah dengan pendingin yang tidak pernah berhenti. Dimana uang keluar dari dompet mahal istri maupun simpanan pengusaha yang menggelayut manja. Juga dimana mobil yang masuk bukan angkot berpolusi menyesakan tapi mobil mulus yang tak akan kumiliki dengan menjual nyawa pada setan sekalipun. Apa sudah tertebak dimana aku bekerja? Ya, benar apabila kamu menjawab sebuah pusat perbelanjaan, atau kerennya, mall.

Gedung bertingkat 6 ini luasnya bukan main, ada lebih dari 5 atrium yang secara satuan lebih luas dari lapangan bola di kampungku. Dari toko yang berbaris mulus tanpa cacat segaris pun di tiap pintu kacanya hingga diskotik yang baru buka saat banyak orang memutuskan untuk bergelung di bawah selimut. Nah, disanalah aku ditempatkan selama 4 kali dalam seminggu, beberapa toilet di lantai 6. Apakah kamu menebak aku seorang cleaning service? Ya kamu benar lagi.

Dalam 4 kali seminggu mendapat sudut pandang menarik tentang ibukota, rasanya ingin aku menukar semua shift ku menjadi malam, tapi apabila hal itu kulakukan aku tak bisa mendapatkan tip yang cukup bagus dari pengunjung pagi sampai sore hari. Para orang baik hati yang masih menyediakan sedikit receh mereka walaupun tau toliet ini dapat dipakai gratis. Aku suka mereka.

Kembali pada shift malam ku, kenapa itu menarik? Tentunya diskotik di lantai atas itulah sebabnya. Kudengar dari satpam yang menjaga, diskotik itu sangat terkenal dikalangan para penjelajah malam. Yang ku tahu mereka baru ramai datang pukul 12 dan pulang menjelang azan subuh.

---

”Aku gak mau tau, kamu harus putusin cowok kamu yang brengsek itu. Emang karena dia ngorbitin kamu jadi model dia berhak milikin kamu?!”
Pembicaraan seperti itulah yang mengagetkanku pada minggu pertama aku bekerja. Ya, Tuhan. Beneran ada ya yang seperti ini di kota besar? Maklum aku dari kampung terpencil dan keluargaku cukup taat beragama. Tahu manusia tidak menetas dari cangkang seperti ayam saja baru ketika SMP.

Tak lama berselang aku, menemukan dua wanita saling berpelukan diluar pintu toliet. Salah satunya menangis. Akupun berdoa pada Tuhan semoga mereka bukan pasangan kekasih.
”Gue gak bisa gini terus, Mel...” Wanita yang menangis memulai ceritanya “Ini udah kedua kalinya Pak Jhony, nyuruh gue ngegugurin bayi gue. Yang pertama aja masih suka kebawa di mimpi gue, gue takut, Mel.”
Ternyata apa yang kudengar bukan berita yang lebih baik dari dugaanku. Kasihan wanita cantik itu. Kulit mulusnya begitu menggodaku untuk ikut memeluknya. Aku pun cepat-cepat menghapus pikiran itu dan tetep jalan tertunduk ke ruang suply mengambil detergen.

Shift malam menjaga toilet seakan tidak pernah berhenti memberiku pengalaman baru. Namun kejadian minggu lalu merupakan satu yang nampaknya akan sulit kulupakan.
”Mas, masss, tolong, mas...” rintih seorang pria terdenger dari toilet paling ujung lantai 6 saat aku membuka pintu.
Darah mengalir dari kemejanya yang terkoyak. Aku panik. Sangat panik. Aku hampir menangis karena ketakutan, saat meninggalkan laki-laki itu untuk memanggil satpam. Namun, saat kami kembali laki-laki itu sudah tidak bernyawa, polisi datang beberapa lama kemudian, lalu menanyaiku macam-macam.
”Pak, saya gak tau apa-apa, Pak... Sumpah, demi Tuhan” ucapku saat pertanyaan-pertanyaan itu mulai terasa menyudutkanku, air mata ketakutan yang sedari tadi kutahan mulai mengalir deras.
”Enggak, Jang, kamu cuma saksi. Tenang ya, Jang, jawab dulu aja. Ini cuma prosedur kok ” polisi muda itu menenangkanku.

---

Malam itu ternyata tidak kapok membuatku masuk di shift malam. Aku ingin menjadi pahlawan di tengah malam sampai dini hari. Aku ingin mengatakan pada pasangan sejenis yang kutemui untuk mengatakan mereka cukup tampan untuk membuat para gadis pingsan saat menerima senyuman mereka. Atau ingin memeluk wanita cantik yang dihamili bosnya dan mengatakan aku akan menikahinya. Bisa juga menghalagi usaha pembunuhan yang mungkin terjadi di pojokan lain di lantai ini.

Imajinasiku makin melayang malam ini, padahal aku tidak menenggak minuman maupun benda aneh yang katanya banyak beredar di tempat dugem, istilah yang sampai sekarang aku belum tau artinya. Aku masih menyimpan imajinasi itu ketika membuka pintu toliet pria untuk jadwal pengecekan pertama malam ini, dua orang yang tadinya sedang saling memeluk ditempat cuci tangan, mendadak menjauh.
”Maaf, Mas, latihan drama.” salah satu pria mencoba menjelaskan keadaan yang sekilas kulihat.