Thursday, September 12, 2013

Curse of the 2D Crush



Sering kan membaca shojou manga dimana tokoh utama perempuan mempunyai beberapa sahabat yang jarang digambarkan secara jelas? Kemunculannnya pun sebatas penasehat ketika si tokoh perempuan galau karena diperebutkan beberapa tokoh laki-laki. Salah satu tokoh pendukung itu biasanya bergaya sangat biasa, seorang mangaka tidak akan repot-repot merubah tatanan rambutnya maupun gaya busananya. Namanya pun tidak akan diimbuhkan “-chan” karena tidak akan ada yang memanggilnya dengan panggilan “-chan”. Dan saat cerita dari manga itu selesai tidak akan ada yang peduli kemana si tokoh pendukung ini berakhir.

Mungkin bisa jadi itu aku. Si tokoh pendukung. Aku masih ingat ketika Arlita bersemu merah saat pertama kali bertemu Todi di hari pertama tahun ajaran baru. Seperti kisah romantis di one-shot manga, nasib kedua orang itu bisa ditebak kemana jalannya. They become the sweetest couple on earth, dan aku hanya tokoh pendukung yang meyakinkan Arlita ketika gadis manis itu ingin mengungkapkan perasaannya. 

Jika pun terdapat side stories tentangku, pasti akan sangat membosankan. Bagaimana tidak ketika yang kulakukan hanya membaca komik dan mengaguminya? Literally, mengagumi tokoh-tokoh di dalamnya, lalu diam-diam menjalin emosi fiktif dengan karakter-karakter tersbut. Yang bisa kubayangkan adalah pembaca hanya akan disuguhkan gambar-gambar si tokoh pendukukung yang tiba-tiba mimisan secara dramatis sewaktu membaca manga.

“Kurei...” Ujar si tokoh pendukung tersungkur lemas dengan gambar bola nyawanya yang mengapung ke atas.

-

Seperti yang kukatakan si tokoh utama perempuan akan memiliki ending manis dilatarbelakangi scene pantai, stasiun, atau depan belakang sekolah lama. Sebelumnya mereka akan berpisah sebentar dan saling mencari karena tiba-tiba sadar akan perasaan yang keduanya miliki. Ahhh, klise. Namun tetap saja klise seperti ini yang akan didapatkan dari semua manga manis lainnya.

Anyway, di mana si tokoh pendukung saat itu? Entah. Tidak pernah digambarkan. Tapi dalam kasusku si tokoh pendukung menghabiskan hidupnya dengan statis. Hanya kacamata gaib yang bisa melihat api yang berkobar ketika ia membaca manga-manganya. Setiap kali ia menghela nafas sebenarnya ia sedang pingsan karena excitement berlebih.  Geliginya juga beberapa kali akan beradu ketika aksi pada kisah yang ia baca sedang memuncak. 

Kini, sepertinya aku hidup dalam yonkoma manga yang berjalan tanpa plot apapun. Hanya kegiatan keseharian yang sangat-sangat standar walau kadang menghibur lewat potongan cerita kecil. Seperti dibawah ini:

“So, you never really have a crush with anyone real?”
“Describe real!”
“HUMAN. With flesh.”
“Hey I’ve been crushing on this HUMAN for years!”
“He’s drawed as human, he’s a character”
“How could you say this to me when you have a lot of Super Junior poster in your room and nearly always talking about almost an adult film scene with 13 guys?”
“Daym, you got a point. And it’s not adult film scene! But they are real guys!”
“My kurei is a real guy, with wings of fiyaaahhh...”

--  

“Is that Kurei?”

Sebuah pertanyaan terlempar dari sebelah atas kubikel ku. Suaranya familiar. Tapi hidupku kan bukan sebuah cerita manga dimana tokoh penyendiri tiba-tiba mendapatkan pangeran yang menerimanya apa adanya? Ok, itu terlalu jauh. Sebaiknya aku menengok sekarang.

“Maya?”
“Todi?!”
“Ih, harusnya gue udah nebak ya ini siapa lagi coba yang suka pasang-pasang gambar kartun”
“Hahaha, iya” aku tertawa datar

Ok, hidupku mungkin bukan manga, tapi dunia kan memang sempit. Wajar jika si tokoh utama laki-laki kembali terlihat, mungkin tidak lama lagi aku akan berada kembali dalam cerita mereka.  Mungkin ini hanya scene dimana si tokoh utama perempuan akan menelponnya mengajaknya makan siang dan ia akan bercerita tentang harinya dan bagaimana ia bertemu teman lama di kantor. Hey, tapi ini kantor ku.
“Lo ngapain disini, Di?”
“Oh, abis meeting sekalian branch visit. Gak nyangka ketemu temen lama disini”
“Hahaha, iya” aku tertawa datar lagi.
“Eh, lo udah lunch? Dimana makan enak deket sini? Lunch on me deh.”

---

Kami makan siang dalam diam. Apa yang harus kubicarakan? Sepertinya dia hanya akan mengejek ku jika aku membicarakan chapter terbaru Kaichou wa maid-sama yang keluar hari ini. Tapi itu kan shojou, mungkin dia akan lebih suka One Piece. Huff, kenapa pusing-pusing mencari topik seperti itu, seingatku dia sama sekali tidak menyukai manga.
“Eh, jadi lo masih suka nonton kartun?” tanyanya antusias.
“Eh, kartun? Gak juga, paling baca aja. Gak sempet untuk nonton animenya.”
“Oh, iya. Gue juga suka tuh. Kemaren gue nemenin ponakan gue nonton despicable me 2”
“Heh?” aku mengeluarkan wajah kecewa yang harusnya beraksesori keringat besar di pojok kepalaku.
“Kenapa?”
“Oh, maksudnya kartun beneran ya?”
“Hehehe, iya, salah ya?”
“Enggak-enggak... Belom, kalo despicable me 2 gue belom nonton”
“Arlita, apa kabar?”
“Mm... baik, mungkin”
Ada yang terasa aneh. Sepertinya mungkin aku salah bicara. Aduh, gimana ini?
“We’re going to get married”
Ahh, begitu...
“Wah, selamat ya.”
“Hahaha, iya. Thanks.”

----

Sebagai tokoh pendukung seharusnya pertemuan kami berakhir dimakan siang itu. Namun pembicaran kami tidak habis saat ia kembali ke kantornya di kota sebelah. Text demi text membuatku merasa aneh karena yang ditanyakan tidak lagi sebatas mengenai pekerjaan. Kini kata “selamat pagi” sampai “have a good rest” tidak absen membuka dan menutup hariku dua minggu belakangan. Puncaknya adalah sebuah text berakhiran “I wish you were my girlfriend”. What the hell...? Sepertinya ini harus diakhiri sebelum seorang gadis calon pengantin mendatangiku dan melempar benda berat ke arahku.  
“Hey, have a time for lunch? My treat. Gak enak kemaren udah dibayarin makan.” –text send-

--

“So, my point is, you have to stop texting me.”
“Hah? Kenapa?”
“Gak nyaman, dengan fakta bahwa  lo udah pake cincin”
Todi mengeluarkan senyum dan membersitkan sebuah tawa mencemooh.
“Ok, mungkin gue ke-ge-er-an. But, dont you think it’s just mean to play around like this?”
“Gue gak play around. What if i really like you? I always been into you.”
“go to hell” tanggapku sinis.
“You can go to hell with all your stupid cartoon collection!” suaranya meninggi
Aku terbungkam, wajah Todi menyiratkan keseriusannya. Mungkin ia tidak main-main. Bukan, bukan main-main, karena rentetan kalimatnya membuatku degup jantungku melaju kencang.
 
“If only you never hide your nose under all those comic books, and fall in love with a real guy that i can compete with! Gue rela ribut ama siapa pun cowo yang jadi pacar lo. Kalo yang lo sukain aja tokoh dua dimensi, apa gue harus ikut cosplay supaya bisa dapetin perhatian lo?”
 “Bentar, bentar, lo nyalahin gue karena obsessed ama tokoh di manga dan lo gak bisa deketin gue karena itu? Lo pikir gampang nahan diri liat lo berada di deket gue tapi terasa gak bisa digapai karena lo macarin temen baik gue? That mangas save me from killing myself because envy and jealousy!”
“So... you like me?”
“Liked. With D. Charm lo luntur begitu sekarang gue tau lo pernah dikalahin kumpulan gambar 2D.”

---

Aku menghela nafas berat. Jika kejadian tadi siang adalah side story di sebuah manga, bisa dipastikan tidak ada akhir cerita yang berubah. Tokoh utama laki-laki tetap akan menggandeng tokoh utama perempuan saat mereka mengucapkan janji di depan altar. Dan aku akan tetap disini memandangi Kurei dengan sayap apinya. 


(manga= komik jepang, shojou manga= komik jepang untuk remaja perempuan, berkisar tentang cerita romantis disekolah. yonkoma= komik empat kotak, seperti kobo-chan, Kurei dengan sayap api bisa dilihat di seri Flame of Recca/Recca no Honoo karya Anzai Nobuyuki, vol. 17, chap. 165)

Tuesday, August 27, 2013

Kejutan Ulang Tahun Kitto

"Kitto sayaaaangggg!!"
Seruan dari ujung telpon membuat pemuda bernama panggilan Kitto otomatis mereject panggilan tersebut.
Belum ada 10 detik berlalu, sebuah telpon dari suara macho-macho cempreng memanggil lagi dengan kerasnya.
"Kangeeeenn kamu beybihhhhh!!"
Sekuat tenaga Kitto pun menekan tombol reject kembali memeluk gulingnya.
Ketenanganan yang ia inginkan betahan selama satu menit sampai sebuah nada panggil terdengar seperti dengungan combo sirine mobil pemadam kebakaran dan rombongan kambing kurban yang diseret ke pemotongan.
Tanpa melihat layar selulernya ia pun menjawab sepenuh hati,
"ANJ*NG LO BEDUA, GUE BARU TIDUR SUBUH, NYEEETTT! GARA-GARA KEJUTAN ULANG TAUN LO YANG KAMPRET ITU.. PENGEN TIDUR GUE! AWAS LO KALO..."
"Yoga..."
"Eh, Mama.. ehe-ehe-ehe..."

***

Tersebutlah Kitto, Armand, dan Alphyn. Tiga individu dengan kepribadian ajaib yang bersatu dalam sebuah nama "The STUPID Creature". Bukan bermaksud menempelkan label eksklusif karena anggota mereka yang bertahan pada angka yang sama semenjak 7 tahun pembentukannya, tapi memang belum ada orang waras yang cukup rela menempelkan identitas The STUPID creature yang konon bisa mengganggu kesehatan jasmani dan rohani.

Malang tak dapat ditolak bagi Kitto, pergantian umurnya menjadi 20, dimana seharusnya dengan langkah bangga ia meninggalkan umur belasan harus dijalani dengan berlinang air mata. Literally, Kitto aka Yoga Pramana menangis.

-

Tiada lain selain 2 siluman codot, begitu sebut Kitto, yang merupakan teman baiknya  telah menjalankan sebuah rencana brilian. Mereka membuat skenario dirampoknya kamar kost Kitto pada pukul 3 dini hari. Terlebih dahulu mereka membuat kejutan ulang tahun yang reguler dengan membawa kue ulang tahun bertuliskan "YOU'RE OLD NOW" pada tengah malam lalu mengajaknya ke restoran burger cepat saji 24 jam untuk minta ditraktir ice-cream cone. Di saat mereka bertiga pergi, teman-teman kost Kitto yang lain sudah bersiap mengacak-acak kamar Kitto dan menjadikan TKP terlihat seperti kerampokan. Si rampok menggasak laptop, hape, baju superman dan bantal kesayangan Kitto, sebuah bantal bapuk yang menyimpan memori berbagai mimpi dewasa Kitto.

"Njingg! Tugas gueee... Laporan gueee.. Gue garap dari seminggu laluuu!" Ucap Kitto yang tertunduk lemas sambil memegang kantong kentang gorengnya.
Armand melihat hal tersebut sebagai ajang unjuk kebolehannya bermain teater. Ia pernah bermain di Gedung Kesenian Jakarta, pada saat SMA. Menggantikan temannya pemeran Pohon Belimbing yang jatuh sakit karena pilek akut berkepanjangan.

"Sabar ya, To.. Mungkin ini petunjuk dari Tuhan, bahwa laporan dan tugas lo belom maksimal. Jadi dikasih kesempatan ngulang lagi.."
"Maksud lo nyeeeettt??! Dikumpulin semuanya besokkk.. Gue kapan ngulangnya?! Taun depann?!"
"Yah masih ada kesempatan kan to.. kuliah kan 7 taun"
"LO KATA??!"

Kitto kehabisan kata-kata, ia hanya terdiam... Laptop.. Kemalingan.. Biarpun ditemukan lagi, bayangan mengerjakan dari awal sudah memberikannya mimpi buruk. Namun hal paling masuk akal sekarang menurutnya adalah mengerjakannya lagi, sebisanya. Paling tidak itu rencana untuk pengumpulan tugasnya esok hari, karena alasan "Pak Laptop saya ilang" sudah pernah dipakai semester kemarin pada dosen yang sama. Yang berbeda, kali ini laptopnya benar-benar hilang.

Mata Kitto berkaca-kaca, hidungnya mulai berair. Sedikit banyak ia menolak menangisi kemalangannya. Mau ditaro dimana kemachoannya yang tahan tidak menangis ketika menonton Hatchiko, tapi nampaknya kehilangan laptop dengan isi-isinya di hari ulang tahun benar-benar membuat Kitto terguncang.

"To, lo nangis, To?" tanya Armand menyadari muka terlalu-sedih-dan-syok Kitto.
"Enggak, enggak, kelilipan gue, kamar gue banyak debunya, sinus gue kambuh." jawab kitto.
"Hacchi! Hacchi!" tambahnya pura-pura bersin.
"udah-udah, nih lo ngerjain lagi sebisanya dulu deh pake laptop gue" ujar Alphyn sambil menyerahkan sebuah laptop.
Kitto butuh tiga detik untuk menyadari laptop ditangan Alphyn adalah miliknya.
"ANAK SETANNNNN!!!!!!" serunya.
"Happy birthday, Masbrohhhh!!" seru kedua wajah didepannya sambil nyegir bahagia.

--

Sunday, August 25, 2013

Replay



Tubuhnya masih bergetar satu jam setelah layar televisi di depannya memberitakan jatuhnya pesawat yang membawa Kendra. Padahal ia masih bisa merasakan gadisnya itu memeluknya erat sebelum pergi. Ia juga masih bisa mengendus parfum Eternal Jasmine yang selalu Kendra  pakai. “Jangan lupa makan yang sehat” kalimat terakhir gadisnya sebelum pintu bandara menelannya. 

Kini semua itu terus berputar dikepalanya bercampur dengan bayangan goncangan pesawat yang pasti membuat gadisnya ketakutan luar biasa.

Jika ia tahu apa yang akan terjadi ia akan memeluk gadisnya itu lebih erat. Peduli setan, ia bahkan tak akan membiarkan gadisnya menginjakan kaki di bandara itu sekalipun!

-

“Bangun, bangun, baaaangunnn...” seru suara familiar yang sangat menganggu.
Ia membuka matanya dan melihat Kendra di depannya.
“Gak ngantor?” tanya Kendra dengan sendok kayu ditangannya.
Ini mungkin mimpi. Seperti di film-film, bukan? Pikirnya berasumsi. Ia sedang mengalami shock hebat sampai memimpikan gadisnya, membangunkannya, sebuah bayangan tentang versi kehidupan yang ia inginkan selama ini. Baiklah, ia akan memainkan perannya di mimpi ini.
“Umh, iya ngantor... Kamu juga ngantor?”  
“Iya laaahh, ngapain bangun pagi-pagi kalo gak ngantor. Aku udah nyiapin sarapan ama bekal lho. Baby kailan lagi gak apa ya? Masih banyak, takut jadi jelek kalo gak di habisin”
Ia mengangguk sambil tersenyum. Ini mimpi terbaik yang ia miliki. dan ia harap tak akan pernah bangun lagi.

-

“Bangun, bangun, baaaangunnn...” seru suara familiar yang sudah lagi tidak menganggu.
“Iya, iya, aku ngantoooorr...”
“Hehehe, gitu dooong...”
“Abis masak baby kailan lagi?”
“Kok tau?”
“Nebak aja”  

-

“Bangun, bangun, baaaangunnn...” seru suara familiar yang tidak bosan menganggunya.
 Jika boleh jujur ia pun tidak bosan. Terserah pagi seperti ini mau berulang berapa kali. Terima kasih, Tuhan! Batinnya berseru setiap pagi.
“Udah banguuunnn, udah banguuunnn... ” Jawabnya antusias.
“Hore!”
“Hore makan baby kailan!!”
“Lho kok tau? Kemaren buka-buka kulkas ya? Maap belinya kebanyakan”
“Gak apa kok...”

-

Maka ia pun menjalani mimpinya dengan sepenuh hati, tidak seberkas rasa jenuh pun menghampirinya. Hidup macam apa lagi yang bisa ia inginkan jika bukan seperti ini. Rangkaian harinya dibuka dengan gadisnya, yang sudah menjadi teman hidupnya, membangunkannya, memasakan sarapan dan bekal yang tidak proporsional karena sepertiganya berisi porsi sayuran. Lalu ia akan pergi untuk menghadapi meeting yang tidak pernah ia mengerti, untuk kembali pulang dan berhadapan dengan cheesecake lemon yang dimakan harus dengan saus coklat karena terlalu asam. Hidup, atau mimpi, ini indah. Sekali lagi, Terima Kasih, Tuhan!

-

Pagi-pagi dan hari-hari berikutnya masih berulang layaknya sebuah video dengan tombol replay yang akan teraktivasi otomatis setelah detik terakhir. Namun, sebuah anomali terjadi saat Kendra menanyakan,
“Kamu gak pernah merasa jenuh?”
Ia terdiam mendengar perkataan itu.  Pertanyaan ini tidak ada di hari-hari sebelumnya. Ia hafal benar setiap detik yang terjadi, dan saat ini, saat gadisnya sedang menyuap sepotong cheesecake, kalimat yang akan ia katakan seharusnya “Aseeeemm... pake coklat aja ya makannya.”
“Hey, kamu gak dengar pertanyaanku?”
“Denger. Ehm, jenuh, enggak, kan ada cheesecake.”
“Gak nyambung. Besok pergi yuk, ke Bali.”
“Hah, besok? Emang gak ngantor?”
“We have to make the best, as if it’s our last.” Jawab gadisnya antusias.

-

Tubuhnya bergetar hebat saat melihat  tatapan kosong Harvey. Dengan pelan ia mengarahkan kursi rodanya mendekat.  Menggenggam tangan pria yang ia peluk sebelum pesawat sial itu jatuh dan membuatnya lumpuh.
“Aku pulang, sayang.” Bisiknya pelan.  

Friday, May 31, 2013

Lantai 7

Setiap pintu lift terbuka di lantai 7 tanpa ada orang yang memanggil Waldo hanya akan menarik dan menggembuskan nafas pelan. Pintu itu akan terbuka selama 10 detik, yang berarti ia punya waktu 10 detik untuk berpura-pura tenang, berdoa dalam hati dan mengenggam MP3 nya lebih erat. Ini sudah terjadi selama tiga bulan terakhir dan entah mengapa itu selalu terjadi saat ia berada sendiri di dalam lift. Sialnya lagi, karena kebiasaannya pulang larut, ia sering kali sendirian di dalam lift. 

Namun ia yakin, hari ini pasti hal itu tidak akan terjadi, ia akan pulang “teng-go” atau tepat waktu bersama dengan semua karyawan yang akan berlari pulang seperti pelari yang mendengar suara tembakan.

“Eh, udah mau pulang lo, Do? Tumben.” Kata Ardi yang memergoki Waldo sudah menggendong backpacknya
“Iya, lagi pengen aja.”
“Oh, iya deh. Ati-ati ya, Do”
“Sip, duluan, Di”

Waldo sudah melangkah jauh menuju lift saat Ardi berseru “Pake lift yang kiri, Do, yang kanan lagi di service”

**

Teeeeett...!

Bunyi protest lift saat Waldo menjejakan kaki. Orang-orang di lift pun menghujamnya dengan pandangan tidak ramah. Dengan wajah kecewa Waldo pun terpaksa melangkah keluar.

Ding!

Lift di belakangnya terbuka. Kosong. Namun Waldo meragu. Ia akan sendirian kalau masuk lift itu. Suara kecil di dalam kepalanya memprotes, “Ini kan jam pulang kantor, Do, masak dari lantai 15 ke lantai satu gak ada yang naik lagi”.

Ia pun tersenyum kecil menyadari keraguannya. Dan melangkah masuk. Tak sampai 2 detik pintu lift menutup kembali. Layar lift menunjukan lantai mereka. 15. Lalu turun ke 14, 13, 12, 11...

Waldo mulai merasa aneh, “Kok gak ada yang naik ya?”

Saat angka di layar lift terus berkurang, nafas Waldo mulai terasa berat.

Ding!

Lantai 7. Waldo mulai mencari MP3 dalam kantongnya dan menekan tombol On. “Low Batt” Layar LCD kecil itu berkelip. Waldo pun seperti kehilangan setengah nyawanya, ia harus mengembalikan keberaniannya yang tercecer.

“Ok, 10 detik, gak akan lama, 10 detik” Matanya memejam sampai lift “Ding!” kembali terdengar.

Ding!

Pintu lift pun menutup. Waldo bernafas lega sambil menyaksikan angka di layar lift mengecil mulai mengecil dengan normal, “6... 5... 4...”.

Belum sempat Waldo melihat angka 3 terpampang. Tiba-tiba lampu di lift mati, dan ia merasakan laju lift tersebut ikut berhenti.

“Ok, This is how i’ll die” Waldo membatin pelan.

**

Waldo meratapi nasibnya dalam gelap. Ia merogoh kantongnya lebih dalam untuk menemukan selularnya tak bersignal. Suara kecil di kepalanya yang tadi membodohinya untuk naik ke lift bermasalah ini kembali berguman, “Mana ada signal di lift!”

Paling tidak ada cahaya. Paling tidak ia bisa memantau berapa lama ia sudah berada di lift ini. 3 menit dan ia sudah berkali-kali menekan tombol berwarna merah yang katanya hanya boleh ditekan saat darurat. Entah seberapa darurat yang operator lift butuh kan untuk sekedar menjawab, namun baru pada menit ke 5 ada suara dari lubang-lubang kecil.

“Halo, Mas, Mbak? Halo. Jangan panik ya Mas, Mbak, ada kesalahan teknis kami sedang atasi.”
“Iya Mas, cepetan ya! Cepetan!! Saya Takut!”

Suara dibelakang Waldo menjawab. Suara? Apa? Tadi? Leher Waldo mendadak kaku. Disaat yang sama lampu lift menyala.

“Ah, syukurlah...” Suara itu berseru lega.

Dengan doa-doa yang tergumam pelan dari mulutnya, Waldo mengumpulkan nyali menengok ke belakang.  Seorang perempuan berbaju kantor berdiri dibelakangknya. Kakinya menjejak. Ia terlihat normal. Tidak ada darah menetes maupun wajah pucat. Matanya cemerlang dengan rambut kuncir kuda yang diikat ke belakang.

“Ka-Kapan Mbak masuknya?”
“Tadi.”
“Dari lantai... tujuh?”

Perempuan di depannya mengangguk.

“Perasaan... Tadi... Kenapa... tadi...”
“Mas mau ngomong apa sih? Gak jelas kalimatnya”
“Mak-maksud saya tadi kayaknya saya sendiri di lift.”
“Emangnya kalo saya masuk harus salam dulu, ini kan lift bukan rumah orang”

Waldo menggaruk-garuk belakang kepalanya.

“Lagian kalo saya masuk lift masnya juga kayaknya selalu lagi pasang earphone kok.”

**

“Jadi saya setan?!” Seru perempuan itu saat waldo mengatakan sudah 3 bulan terakhir lift yang ia tumpangi selalu berhenti di lantai 7, tanpa ada orang yang masuk dan ia memang selalu memasang earphone jika hal itu terjadi.

“Yaaaah, mmm... mungkin? Arwah gitu. Tapi kok napak tanah ya mbak?”

Waldo melihat sekilas ke lantai lift, ia memutar otaknya untuk mengetahui apa sebenarnya yang ia hadapi.

“Mbak, nama saya Waldo” ujarnya sambil mengajukan tangan.
“Saya Cita,” Ia menyambut tangan waldo, namun keduanya gagal berjabatan.

Tangan Cita seperti hologram ketika menyentuh tangan Waldo. Keduanya terbelalak.

Kreeekkk!! Tang! Terdengar suara pintu lift yang dibuka paksa. Waldo pun menoleh.

“Mas, gak apa-apa, mas?” Ujar beberapa orang teknisi dengan wajah panik.
“Enggak mas, engggak apa-apa”
“Syukurlah, saya takut banget kejadian kayak yang beberapa bulan lalu, mas. Ada Mbak yang meninggal mendadak pas lift nya konslet, katanya panik terus kena serangan jantung gitu”

**

Ding!
Lantai 7. Waldo tersenyum simpul saat pintu lift terbuka. Seperti biasa penumpang lift itu hanya ia sendiri. Lalu saat pintu lift menutup 10 detik kemudian Waldo menekan tombol stop.
“Kok di stop?” Sebuah suara perempuan memprotes.
“Mau liatin kamu lebih lama.” Ujar Waldo sambil memperlebar senyumnya.

Thursday, April 25, 2013

Pulang

1992
Wajah kecil itu masih memandangi kue ulang tahunnya yang tinggal setengah. beberapa menit sekali ia melihat jam dinding dan menghela nafas. Sang ibu yang sedari tadi membujuknya untuk beristirahat juga belum kunjung menyerah
"Andi, ayo bobo... Besok kamu sekolah lho..."
"Andi mau tunggu, Bapak. Boleh ya?"
"Bapak masih lama pulangnya, Ndi. Yuk, ganti piyama dulu yuk..."
"Gak mau, Andi mau tunggu, Bapak!"
Suara anak sulungnya itu meninggi. Tentu saja sang ibu kaget, namun keinginannya untuk mengkoreksi nada tinggi yang baru saja diterimanya itu padam ketika melihat kedua mata bocah lelakinya mulai berkaca-kaca.
"Iya, iya, Andi boleh kok tunggu bapak di meja, tapi ganti piyama dan gosok gigi dulu. Ya?"
"Tapi, gak mau gosok gigi, Andi masih mau makan kue, makan kue bareng Bapak."
 Sang ibu hanya bisa tesenyum simpul, sedikit kekesalannya kini tersalur kepada Suaminya yang belum kunjung pulang, "Kasihan andi, kan Bapak sudah janji akan pulang awal hari ini," batinnya.

Sementara itu di lantai 5 Gedung Birama Jaya, Breno tergesa membereskan arsip-arsipnya seraya bicara pada rekannya.
"Pak Hendri, laporan saya sudah selesai ya, sudah semua kan?"
"Em, udah kok, eh, Pak Breno ikutan kita makan kan?"
"hah, makan apa? Itu undangan dari kepala divisi, kan mau naik jabatan dia."
"Aduh, harus ya?"
"Harus lah, Pak. Gak enak nanti ama Beliaunya kalo gak dateng semua."
Breno menghela nafas berat, ia melirik plastik berisi bungkusan mobil mainan yang sudah Ia beli saat istirahat makan siang tadi.

Tanpa harus menduga banyak Breno tahu ia pasti sudah terlambat saat ia pulang ke rumahnya di jam 11.00. Istrinya hanya memandang kecewa dan menunjukan Andi yang tertidur di meja makan sambil memegang garpu kecil. Ia masih duduk di posisi yang sama, di depan kue ulang tahunnya.


2015
"Kita lanjut kemana nih, Ndi?" tanya Fendi setelah membayar makan malamnya.
"Yah, enggak deh, Fen. Gue bawa pesenan sop sapi kesukaan bokap nih"
"ya elah, Ndi, pulang jam segini mah percuma, lo gak liat itu jalanan masih gak gerak gitu?"
Andi menggaruk-garuk kepalanya. Ia tau ucapan Fendi benar. Pulang kantor jam 7 malam menyusuri macetnya ibukota sama saja bunuh diri. belum lagi hujan besar tadi sore menurut berita di radio menyumbang derita pada komuter dengan genangan disana-sini.
"Iya deh," jawab Andi lemas, "mau kemana kita?"
"Anak-anak lantai 6 ngajakin nonton di bioskop seberang, nih si Fani baru sms gue, mereka udah disana katanya"


Jarum jam sudah menunjukan jam 9 malam, Bapak masih betah berada meja makan dengan buku sodokunya.
"Bapak belum makan malam, ya?" tanya Ibu.
"Belum, bapak mau makan pake sop daging, tadi katanya Andi mau bawakan"
"Tapi kemungkinan macet di jalan parah banget lho pak, itu diberita bilang gitu, bisa-bisa baru pulang tengah malam gimana?" Anya, si bungsu, menyambung pertanyaan ibu dengan nada khawatir.
"Gak apa-apa, bapak tunggu aja sebentar lagi."
"Makan tumpeng aja mau ya?" rayu Anya.
"Nanti saja, Anya"
Mendengar jawaban seperti itu, Anya hanya bisa memandangi hape nya, ia kesal kakaknya belum kunjung menjawab pesan singkat maupun telponnya. Ia pun mengirimnya lagi,


Andi terkejut bukan main saat selulernya bertubi-tubi menerima pesan dari Anya. Cuaca benar-benar mengacaukan penerimaan signal providernya.
"Kak, dimana? Tadi sore syukuran pensiunan Bapak lancar. Tapi sampe sekarang tumpengnya belum mau dimakan. mau nunggu sop daging dari kakak katanya."