Setiap pintu lift terbuka di lantai 7 tanpa ada orang
yang memanggil Waldo hanya akan menarik dan menggembuskan nafas pelan. Pintu
itu akan terbuka selama 10 detik, yang berarti ia punya waktu 10 detik untuk
berpura-pura tenang, berdoa dalam hati dan mengenggam MP3 nya lebih erat. Ini
sudah terjadi selama tiga bulan terakhir dan entah mengapa itu selalu terjadi
saat ia berada sendiri di dalam lift. Sialnya lagi, karena kebiasaannya pulang
larut, ia sering kali sendirian di dalam lift.
Namun ia yakin, hari ini pasti
hal itu tidak akan terjadi, ia akan pulang “teng-go” atau tepat waktu bersama
dengan semua karyawan yang akan berlari pulang seperti pelari yang mendengar
suara tembakan.
“Eh, udah mau pulang lo, Do? Tumben.” Kata Ardi yang
memergoki Waldo sudah menggendong backpacknya
“Iya, lagi pengen aja.”
“Oh, iya deh. Ati-ati ya, Do”
“Sip, duluan, Di”
Waldo sudah melangkah jauh menuju lift saat Ardi berseru
“Pake lift yang kiri, Do, yang kanan lagi di service”
**
Teeeeett...!
Bunyi protest lift saat Waldo menjejakan kaki. Orang-orang
di lift pun menghujamnya dengan pandangan tidak ramah. Dengan wajah kecewa
Waldo pun terpaksa melangkah keluar.
Ding!
Lift di belakangnya terbuka. Kosong. Namun Waldo meragu. Ia
akan sendirian kalau masuk lift itu. Suara kecil di dalam kepalanya memprotes,
“Ini kan jam pulang kantor, Do, masak dari lantai 15 ke lantai satu gak ada
yang naik lagi”.
Ia pun tersenyum kecil menyadari keraguannya. Dan melangkah
masuk. Tak sampai 2 detik pintu lift menutup kembali. Layar lift menunjukan
lantai mereka. 15. Lalu turun ke 14, 13, 12, 11...
Waldo mulai merasa aneh, “Kok gak ada yang naik ya?”
Saat angka di layar lift terus berkurang, nafas Waldo mulai
terasa berat.
Ding!
Lantai 7. Waldo mulai mencari MP3 dalam kantongnya dan
menekan tombol On. “Low Batt” Layar LCD kecil itu berkelip. Waldo pun seperti
kehilangan setengah nyawanya, ia harus mengembalikan keberaniannya yang
tercecer.
“Ok, 10 detik, gak akan lama, 10 detik” Matanya memejam
sampai lift “Ding!” kembali terdengar.
Ding!
Pintu lift pun menutup. Waldo bernafas lega sambil
menyaksikan angka di layar lift mengecil mulai mengecil dengan normal, “6...
5... 4...”.
Belum sempat Waldo melihat angka 3 terpampang. Tiba-tiba lampu
di lift mati, dan ia merasakan laju lift tersebut ikut berhenti.
“Ok, This is how i’ll die” Waldo membatin pelan.
**
Waldo meratapi nasibnya dalam gelap. Ia merogoh kantongnya
lebih dalam untuk menemukan selularnya tak bersignal. Suara kecil di kepalanya
yang tadi membodohinya untuk naik ke lift bermasalah ini kembali berguman,
“Mana ada signal di lift!”
Paling tidak ada cahaya. Paling tidak ia bisa memantau
berapa lama ia sudah berada di lift ini. 3 menit dan ia sudah berkali-kali
menekan tombol berwarna merah yang katanya hanya boleh ditekan saat darurat.
Entah seberapa darurat yang operator lift butuh kan untuk sekedar menjawab,
namun baru pada menit ke 5 ada suara dari lubang-lubang kecil.
“Halo, Mas, Mbak? Halo. Jangan panik ya Mas, Mbak, ada
kesalahan teknis kami sedang atasi.”
“Iya Mas, cepetan ya! Cepetan!! Saya Takut!”
Suara dibelakang Waldo menjawab. Suara? Apa? Tadi? Leher
Waldo mendadak kaku. Disaat yang sama lampu lift menyala.
“Ah, syukurlah...” Suara itu berseru lega.
Dengan doa-doa yang tergumam pelan dari mulutnya, Waldo
mengumpulkan nyali menengok ke belakang.
Seorang perempuan berbaju kantor berdiri dibelakangknya. Kakinya
menjejak. Ia terlihat normal. Tidak ada darah menetes maupun wajah pucat.
Matanya cemerlang dengan rambut kuncir kuda yang diikat ke belakang.
“Ka-Kapan Mbak masuknya?”
“Tadi.”
“Dari lantai... tujuh?”
Perempuan di depannya mengangguk.
“Perasaan... Tadi... Kenapa... tadi...”
“Mas mau ngomong apa sih? Gak jelas kalimatnya”
“Mak-maksud saya tadi kayaknya saya sendiri di lift.”
“Emangnya kalo saya masuk harus salam dulu, ini kan lift
bukan rumah orang”
Waldo menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Lagian kalo saya masuk lift masnya juga kayaknya selalu
lagi pasang earphone kok.”
**
“Jadi saya setan?!” Seru perempuan itu saat waldo mengatakan
sudah 3 bulan terakhir lift yang ia tumpangi selalu berhenti di lantai 7, tanpa
ada orang yang masuk dan ia memang selalu memasang earphone jika hal itu
terjadi.
“Yaaaah, mmm... mungkin? Arwah gitu. Tapi kok napak tanah ya
mbak?”
Waldo melihat sekilas ke lantai lift, ia memutar otaknya
untuk mengetahui apa sebenarnya yang ia hadapi.
“Mbak, nama saya Waldo” ujarnya sambil mengajukan tangan.
“Saya Cita,” Ia menyambut tangan waldo, namun keduanya gagal
berjabatan.
Tangan Cita seperti hologram ketika menyentuh tangan Waldo.
Keduanya terbelalak.
Kreeekkk!! Tang! Terdengar suara pintu lift yang dibuka
paksa. Waldo pun menoleh.
“Mas, gak apa-apa, mas?” Ujar beberapa orang teknisi dengan
wajah panik.
“Enggak mas, engggak apa-apa”
“Syukurlah, saya takut banget kejadian kayak yang beberapa
bulan lalu, mas. Ada Mbak yang meninggal mendadak pas lift nya konslet, katanya
panik terus kena serangan jantung gitu”
**
Ding!
Lantai 7. Waldo tersenyum simpul saat pintu lift terbuka.
Seperti biasa penumpang lift itu hanya ia sendiri. Lalu saat pintu lift menutup
10 detik kemudian Waldo menekan tombol stop.
“Kok di stop?” Sebuah suara perempuan memprotes.
“Mau liatin kamu lebih lama.” Ujar Waldo sambil memperlebar
senyumnya.
No comments:
Post a Comment