Thursday, September 9, 2010

Kecup(u)an Dini hari

“I’m just a teenage dirtbag, baby. Yeah I’m just a teenage dirtbag, baby. Listen to Iron Maiden, baby with me…!”

Lagu itu telah bersarang entah berapa lama di kepalaku. Semenjak film-film remaja Amerika masih berjaya. Tentu saja aku menontonnya sembunyi-sembunyi bersama kakakku yang saat itu sedang puber, sedangkan aku, hanya anak kecil yang terlalu cepat dewasa akibat dicekoki tatapan manis Freddie Prince Jr maupun senyum cute Ashton Kucther. Seiiring waktu yang berjalan, begitupun masuknya sinema-sinema jepang, taiwan, dan kini teledrama korea, film-film remaja Amerika yang dulu kutonton itu nampaknya habis dilibas dengan wajah manis asia yang menyerempet ehem.. cantik. Yang tersedia sekarang hanya sinema macam High Scool Musical atau terjerumus dalam pedofilia karena mengagumi poni Justin Bieber.
Hmmm.. Aku memilih berada dalam masa lalu, dan lagu dari Wheatus yang sering kali kudengungkan mengikatku pada masa itu.

"Dia keren", kata pria yang kusukai ketika ditanya tentang diriku.
"Keren". Aku berujar sinis. Selera filmku banyak dipuji dengan kata itu. Pengetahuan musikku pun bernasib kurang lebih sama. "Keren". Kebayakan dari mereka menyukai pilihanku untuk hidup di masa sinema remaja Amerika masih menampilkan skate board dan heroic loser theme, tentunya sebelum Judd Appatow menjadikan sosok loser begitu keren lewat Michael Cera maupun Seth Rogen. Namun aku mengutuk kata "keren" yang menghantuiku, kata yang tak pernah membuatku terlihat semestinya. Kata "keren" entah mengapa melegitimasiku berbuat sedikit kasar, menggunakan banyak kata F dan S—walaupun aku tak akan menggunakannya dalam bahasa ibu ku— serta memudahkanku dekat dengan banyak orang. Mereka memandangku sebagai orang yang lepas dan "hidup". Padahal jujur, aku jauh dari itu.

Demi apapun aku mengasihani diriku, kata "keren" sudah tidak terdengar seperti semestinya ketika umurku menginjak angka 20-an, ketika tuntutan jadi dewasa datang dari segala penjuru. Ketika kepatutan bersikap dituntut para orang tua. Kata mereka menjadi "unik" bukan pilihan yang baik, walaupun kemudian mereka akan mengatakan menjadi diri sendiri adalah yang "terbaik". Namun tiada hentinya mereka memberikan pola yang harus kuikuti untuk menjadi robot yang mereka inginkan. Hipokrit.

Aku membenci kata "keren". Kata itu sama sekali tidak membantuku berani melangkah. Berani menjadi beda. Melakukan backpacking, pergi dari rumah, atau sekedar mengatasi ketakutanku pada jarum suntik. Kata "keren" juga tidak membantuku menaikan level pertemanan yang sudah kujalin dengan pria yang kusukai, menurutnya aku terlalu "asik" dan ia tidak ingin merusak persahabatan kami. Itu semua kata-kata klise yang berlaku bagai air yang masuk ke teligaku, mengganggu.

Lampu selulerku menyala dan tulisan aktifasi Alarm pun muncul. Dengan sebuah gerakan cepat aku mematikannya bahkan sebelum bunyinya berdengung. Tanda yang menyenangkan, seperti bel sekolah yang selalu kunanti pada masa seragam masih membungkus diriku. Tanda ini menunjukan batas waktu pikiranku untuk meracau sudah habis. Sebagai pengidap syndrom "entah-kenapa-selalu-terbagun-pada-dini-hari-dan-tidak-bisa-tidur-lagi" aku harus mencari cara menyibukan pikiranku sampai pagi menjelang.Inilah caraku, meracau. Setelah ku ringkas, tema dini hari tadi adalah kata "keren". Ah sial, semua ini sangat tidak "keren".