Thursday, October 2, 2014

Mungkin

Ardana terbangun dengan kepala yang berat. Tangannya menggapai jam meja yang pagi ini gagal membangunkannya. Mungkin rusak. Mungkin memang alam bawah sadarnya yang tak rela ia pergi terlalu pagi. Apapun itu, ia hanya bisa mengutuki hari yang akan terasa sama. Ia akan pergi ke lab komputer, bekerja sampai gila, namun setengah jumlah kalimatnya akan ia hapus di akhir hari.

-

Tidak biasanya lab komputer ini sepi, pikir Ardana. Mungkin orang-orang sedang meliburkan diri dari kehidupan akademik. Mungkin ia datang terlalu pagi. Ah, iya, hari ini masih libur tengah semester. Ia mendengus sembari duduk di sudut favoritnya, "Meh, libur." pikirnya sembari menyalakan PC dan menginput ID.

-

"Komputer mana yang rusak?" tanya petugas IT mekanik
"Yang di sudut itu" jawab si manager.
"Lho ini bukannya sudah saya perbaiki dari minggu lalu?"
"iya, tapi masih juga belum nyala"
Petugas IT itu menggaruk-garuk belakang kepalanya. Sebenarnya komputer disudut ini adalah komputer ketiga yang ia letakan di sudut lab komputer ini dalam 2 bulan belakangan. Kedua unit sebelumnya pun ketika dites ulang di kantor tidak pernah bermasalah. Ia hampir yakin, unit ini pun mempunyai nasip yang sama. Mungkin soket listriknya yang rusak. Mungkin...

-

Ardana memandang layar komputer itu dengan wajah kusut. Di sudut itu ia memandang kursor yang terus saja berkedip.  

Wednesday, April 16, 2014

Dear Stalker



“Umur segini masih nyetalker, kawinnya kapan,  masbrooo?”
“Kayak lo gak baru ditolak aja ama Desri. Udah ke berapa kali? Itungan di jari gue udah abis kayaknya”
“Setan alas.” 

Skak mat. Setelah sukses membuat Hendra mencibir, gue pun lanjut baca blog post Mbak Ananda. Shoot, ini cewe emang minta di stalker parah. Tiap hari update status. Kegiatannya besok ngapain aja gue bisa tau lewat twit-twitnya. Ok, I know, I know. This is crazy, dan mungkin gue bisa ditangkep gara-gara hal kayak gini. Tapi gue gak sampe nge-grab fotonya dan nyimpen tulisan-tulisannya di tumblr kok. Nah itu baru gila!

Hmm. Sampe mana gue tadi? Ah, blog post Ananda Putri Sriwedari. Duh, namanya aja menggoda banget ya? Menurut pengetahuan cemen gue sih, artinya anak perempuan surga. Tampangnya emang surgawi banget. Bikin adem. And thank God, she’s not that kind of mbak-mbak dengan status aneh macam “Cz only U in my hert”. Hertz, bukannya macam satuan listrik ya? Well, she’s just interesting with all her thought about interesting stuff, like international pudding day. Adorable. Gue melting.

Oh iya, perlu diketahui, gue bukan mas-mas sakit jiwa yang nge-add orang dengan alasan “eh, cakep nih, add ahh...”. Bahkan gue pernah menelantarkan facebook gue lantaran bosen. Si Mbak Ananda ini datang pun tak dijemput, enggak, gue juga belom pernah nganterin pulang. Garing yak...  Gue yang kala itu memutuskan buka jejaring sosial lagi mendapat add dari si mbak ini. Pas dicek, mutual friend nya temen-temen smp dan sma. Jangan-jangan dulu ketemu pas kawinan temen. Pernah sih beberapa kali ketemu yang agak menjanjikan tapi sering kali gagal di follow up gara-gara kerjaan kantor yang kelakukannya udah kayak pacar paling demanding sedunia. Probably she’s the way out. Batin gue saat mengklik “approve”

-

Kotak chat Ananda Sriwedari dengan bulatan pertanda online udah gue tatap selama 30 menit terakhir. Man, gue harus ngomong apaa? “Hi”, gitu? Terus kalo dibales dengan “Hi” lagi gue lanjut gimana? “Kita kenal dimana ya?” Masak gitu sih? Gue bakal keliatan kayak anak ABG yang nge-approve cewe yang gak dikenal cuma gara-gara cakep doang dong? Eh, tapi kan saat itu memang asalnya iseng. Kejombloan menahun kadang membuat kita lemah memang. 

Gue kembali menghela nafas. Udah hampir 4 bulan dari gue pertama baca postingnya soal trip nya ke Rinjani dan sampe sekarang tetep gak berani ngapa-ngapain. Boro-boro nge-like. Damn, cupu amat sih! Ayolah, gue tau hobinya, aktivitas kucing peliharaannya, tempat menyepi dia kalo lagi sedih, film-film kesukaannya dan kebenciannya ama motor yang knalpotnya berisik. Masak nyari omongan aja gak bisa?! 

Here we go!

Gue pun mengetik “Hi”. Setelah ngerapel doa, gue mengklik enter. Ini kalo ada backsound pasti udah kayak orang motong kabel bom waktu. 

“Hey”

DIJAWAAAABBBBB!!!

Wait, she is typing more.

“I thought you would never tried”

Ok, this is weird.

-

Gue gak menyesali langkah gue dua minggu lalu. Mbak Ananda ini fun banget! Kenapa gue masih manggil dia pake Mbak ya? Nanda. Namanya panggilannya, Nanda. Dia minta dipanggil begitu sih. Gue dan Nanda pun layaknya ABG masa kini. Chat facebook, kirim-kiriman whatsapp, kadang telponan dengan Line. Meh, sungguh mejik ini teknologi inpormasi.

“Ajak ketemuan dong, Rik...” ujar Hendra tiba-tiba.
“Mm... Nanti deh.”
“Kenapa? Takut lo ternyata dia akun fiktif dan yang dateng om-om genit?”
“Ih, geli amat bayangan lo. Iya-iya nanti gue pikirin”

Gue menghela nafas panjang. Sebenernya pikiran untuk ketemuan udah ada sejak hari pertama dia bales chat gue. Harus diakui gue freaked out dengan balasan keduanya. Dia tau gitu gue stalking? Kalo ditilik dari fakta bahwa dia duluan yang nge add gue, she’s probably the one that actually waiting for me. She likes me first! Wajar sih, kata nyokap mah gue ganteng dan bersahaja. Yah, gak rugi lah punya bokap mantan artis, walaupun cuma di film dokumenter pembangunan daerah. Jadi Kades perannya waktu itu. Sialnya kontemplasi dari mana asal kegantengan gue gak akan menjawab PR di tangan, ajak ketemuan gak nih?

-

Apa ya yang bikin gue ragu ketemuan ama dia? Udah kelar juga pencarian gue untuk memastikan dia bukan akun fiktif yang foto-fotonya diambil dari google. Orangnya beneran. Asli ada. Suaranya enak banget lagi, empuk-empuk gitu kayak penyiar radio. Gue bahkan nyari ngubek buku taunan SMA untuk ngebuktiin kalimat Nanda yang bilang bahwa kita sempet satu sekolah. I proved it. Gue liat fotonya, cakep juga pas sma. Kok bisa kelewatan ya? Pasti gara-gara gue kebanyakan liat anak-anak cheerleaders yang levelnya jauh di atas gue yang cuma bermodal nilai rata-rata dan tampang di bawah standart. Belom ganteng gue waktu itu.

Ting! Sebuah ide gila muncul. I already knew everything about her. She’s actively updating everything in her life, like daily. Kenapa gak gue stalk beneran aja?!  Brilian... kan? Walaupun setengah suara di kepala gue berseru riang, setengahnya lagi berpikir ini ide gila. Kriminal bahkan. Iya banget beneran jadi stalker! Mau pake jas panjang, kaca mata item bawa koran bolong yang dipake ngintip gitu? Cerdas! Eh, gak waras!
Tanpa gue sadar, beberapa jam setelah ide itu muncul gue udah ada di luar kantornya. Tanpa jas panjang dan sabuk perlengkapan a la Batman,  gue terlihat sangat normal. Seperti eksekutif muda yang sedang menunggu pacar untuk pulang bersama. Ralat, calon pacar. Itupun kalo gue udah yakin dia napak tanah dan ternyata tidak gaib. Kenapa tiba-tiba jadi horor gini auranya?

Sebuah text masuk membuyarkan buah pikir gue nan cemerlang.

“Can’t believe you go this far on proving my existence, dear stalker”

Damn.

-

Gue dan abang tukang mie ayam tenggelam dalam kebisuan kami masing-masing. Hanya si abang mie ayam yang kebisuannya produktif. Sepertinya dia pendiam dan suka memendam perasaan. Mungkin semua keluh kesahnya tertuang dalam mangkuk ayam jago yang sedari tadi dilapnya. Rasanya gue mau menepuk pundaknya dan bilang, “udah bang, udah kering mangkoknya.” Namun selain agaknya sungkan buat bertindak sok akrab, pikiran gue juga lagi bergumul dengan paket berbungkus kertas coklat di pangkuan.

Yep, setelah adegan ke gep lewat text dua minggu lalu. Gue memutuskan untuk enggak lagi mengkontak Nanda, melepaskan diri dari stalking semua kegiatan onlinenya, bahkan menghentikan akses gue ke dunia maya. Thanks to my boss cyber paranoia, semua urusan kantor disampaikan melalui tulisan tangan yang gak lebih jelas dari kertas resep dokter. Hidup gue nyaman dan aman kembali seperti sedia kala. Sampai seorang OB kantor datang ke kubikel, dan bilang “Mas, ada yang titip paket tadi pagi-pagi banget buat Mas Riko. Cewe, mas. Cakep.”

Pandangan gue kembali ke paket coklat di pangkuan. Adalah sebuah tulisan kecil di atasnya yang membuat gue ragu, tepatnya takut untuk tau apa yang ada di dalamnya. “Dear, Stalker.” Buka! Buka! Buka! Seru suara-suara di kepala gue.  Well, I guess, that’s it. I’m throwing this away! This is the way out! Gue pun berdiri dengan sikap postur tegak sempurna. Si abang yang pun terkesiap dengan sebuah pandangan yang hampir slow motion.

“Mas, gak jadi makan?” Tanyanya kemudian.
“Maap bang, tiba-tiba ilang lapernya. Maap ya.” Jawab gue cepat ambil melangkah pergi.

“Mas, ini Mas, barangnya ketinggalan!”

Gue terus melangkah.

“Kenapa ditinggal?” Tanya sebuah suara yang jelas bukan milik abang tukang mie ayam membuat langkah gue berhenti dan berbalik badan.

Beberapa meter di hadapan gue, berdiri sesosok gadis non-fiktif. Kakinya menapak tanah dan tidak ada tanda-tanda adalah makhluk gaib.Cakep.

“I’m waiting for you to give it to me yourself, dear stalker.” ucap gue seganteng mungkin.

Wednesday, April 9, 2014

Mburjo

Nada panggil itu masih terus berdengung.

"Burjo yo, Ren!"
"Duh, aku masih ngurus persyaratan wisuda je, Lang"
"Oh, ya udah. Eko ngajakin mburjo ama anak-anak. Mau syukuran acc proposal skripsi katanya."
"Hahaha. Ya udah, nanti aku nyusul wae yo"

-

Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.

"Cie yang udah wisuda..."
"Cie yang belum wisuda..."
"Hahaha, nyindir banget. Traktiran dong, Mas!"
"Wee... Ulang taunku wis lewat lho, Terra."
"Ya elah, traktiran paling juga level burjo nunggu ulang taun"
"Ok, ok, mau kapan? Tapi aku beresin kost dulu ya besok mau balik ke Bandung soalnya"

-

Kali ini nomor yang ia hubungi bernada sibuk

"Wih, Eko?"
"Ren? Wah, gak nyangka bisa ketemu disini"
"Iya, lama gak denger kabarnya malah ketemu di negeri orang"
"Liburan doang, kok"
"Sugih yooo..."
"Apa daya si nyonya yang minta, pengennya mah ngajakin reuni, ngeburjo bareng lagi"

-

"Mas, Indomie telornyah"
"Makasih, A'"
"Mm, Mas, boleh nanya?"
"Sok atuh, A'"
"Mas yang ada di poto itu yah?"

Ren memandang foto yang dimaksud sambil tersenyum getir. Tiga dari lima wajah di foto itu adalah pemilik nomor-nomor yang sedari tadi ia hubungi. Namun, kegetirannya bukan dikarenakan tiga orang tersebut tidak kunjung menjawab telponnya. Adalah sosok keempat sumber dari segala alasannya kembali ke tempat ini. Sosok yang baru saja ia hadiri pemakamannya.

"Gak ngeburjo dulu kita sebelum kamu balik ke Bandung"
"Kereta ku dua jam lagi, Do"
"Wah, berarti yang kemaren bareng anak-anak beneran yang terakhir mburjo bareng ya"
"Ya enggak lah, kayak gak bisa reunian aja"
"Hahaha, Iya bener. Nanti foto yang kemaren, tak tempel di burjo ah, buat jadi kenang-kenangan kalo kita kumpul-kumpul lagi"