Thursday, April 25, 2013

Pulang

1992
Wajah kecil itu masih memandangi kue ulang tahunnya yang tinggal setengah. beberapa menit sekali ia melihat jam dinding dan menghela nafas. Sang ibu yang sedari tadi membujuknya untuk beristirahat juga belum kunjung menyerah
"Andi, ayo bobo... Besok kamu sekolah lho..."
"Andi mau tunggu, Bapak. Boleh ya?"
"Bapak masih lama pulangnya, Ndi. Yuk, ganti piyama dulu yuk..."
"Gak mau, Andi mau tunggu, Bapak!"
Suara anak sulungnya itu meninggi. Tentu saja sang ibu kaget, namun keinginannya untuk mengkoreksi nada tinggi yang baru saja diterimanya itu padam ketika melihat kedua mata bocah lelakinya mulai berkaca-kaca.
"Iya, iya, Andi boleh kok tunggu bapak di meja, tapi ganti piyama dan gosok gigi dulu. Ya?"
"Tapi, gak mau gosok gigi, Andi masih mau makan kue, makan kue bareng Bapak."
 Sang ibu hanya bisa tesenyum simpul, sedikit kekesalannya kini tersalur kepada Suaminya yang belum kunjung pulang, "Kasihan andi, kan Bapak sudah janji akan pulang awal hari ini," batinnya.

Sementara itu di lantai 5 Gedung Birama Jaya, Breno tergesa membereskan arsip-arsipnya seraya bicara pada rekannya.
"Pak Hendri, laporan saya sudah selesai ya, sudah semua kan?"
"Em, udah kok, eh, Pak Breno ikutan kita makan kan?"
"hah, makan apa? Itu undangan dari kepala divisi, kan mau naik jabatan dia."
"Aduh, harus ya?"
"Harus lah, Pak. Gak enak nanti ama Beliaunya kalo gak dateng semua."
Breno menghela nafas berat, ia melirik plastik berisi bungkusan mobil mainan yang sudah Ia beli saat istirahat makan siang tadi.

Tanpa harus menduga banyak Breno tahu ia pasti sudah terlambat saat ia pulang ke rumahnya di jam 11.00. Istrinya hanya memandang kecewa dan menunjukan Andi yang tertidur di meja makan sambil memegang garpu kecil. Ia masih duduk di posisi yang sama, di depan kue ulang tahunnya.


2015
"Kita lanjut kemana nih, Ndi?" tanya Fendi setelah membayar makan malamnya.
"Yah, enggak deh, Fen. Gue bawa pesenan sop sapi kesukaan bokap nih"
"ya elah, Ndi, pulang jam segini mah percuma, lo gak liat itu jalanan masih gak gerak gitu?"
Andi menggaruk-garuk kepalanya. Ia tau ucapan Fendi benar. Pulang kantor jam 7 malam menyusuri macetnya ibukota sama saja bunuh diri. belum lagi hujan besar tadi sore menurut berita di radio menyumbang derita pada komuter dengan genangan disana-sini.
"Iya deh," jawab Andi lemas, "mau kemana kita?"
"Anak-anak lantai 6 ngajakin nonton di bioskop seberang, nih si Fani baru sms gue, mereka udah disana katanya"


Jarum jam sudah menunjukan jam 9 malam, Bapak masih betah berada meja makan dengan buku sodokunya.
"Bapak belum makan malam, ya?" tanya Ibu.
"Belum, bapak mau makan pake sop daging, tadi katanya Andi mau bawakan"
"Tapi kemungkinan macet di jalan parah banget lho pak, itu diberita bilang gitu, bisa-bisa baru pulang tengah malam gimana?" Anya, si bungsu, menyambung pertanyaan ibu dengan nada khawatir.
"Gak apa-apa, bapak tunggu aja sebentar lagi."
"Makan tumpeng aja mau ya?" rayu Anya.
"Nanti saja, Anya"
Mendengar jawaban seperti itu, Anya hanya bisa memandangi hape nya, ia kesal kakaknya belum kunjung menjawab pesan singkat maupun telponnya. Ia pun mengirimnya lagi,


Andi terkejut bukan main saat selulernya bertubi-tubi menerima pesan dari Anya. Cuaca benar-benar mengacaukan penerimaan signal providernya.
"Kak, dimana? Tadi sore syukuran pensiunan Bapak lancar. Tapi sampe sekarang tumpengnya belum mau dimakan. mau nunggu sop daging dari kakak katanya."