Wednesday, February 25, 2015

Something Unimaginary (1)

Ding! Layar seluler Agra menunjukan masuknya pesan baru dari Reika.

     Boook, abangnya ganteng!!

Dahinya segera menggerenyit

-

“Ya ampun, udah kubilang itu message buat Ana. Kita lagi ngomongin Big Hero Six. Yang ganteng itu Tadashi. Abangnya Hiro. Tokoh utama di film itu!!!”
Entah sudah berapa kali Agra mendengar penjelasan Reika bahwa pesan yang diterimanya minggu lalu hanyalah sekedar pesan nyasar. Namun sesuatu masih mengganjal pikirnya.
“Guanteng bianget?” Agra akhirnya angkat bicara
“Yes!” Jawab Reika tanpa jeda
“Mungkin… Masalahnya di situ.” Agra menyambut jawaban Reika dengan ragu.
Wajah gadis segera berubah kebingungan. Hanya sebuah “Ehh?” yang keluar menanggapi kalimat terakhir Agra.
Sepertinya Agra pun tahu pikiran tersebut sedikit agak nyerempet tidak masuk akal. Buah pikirnya yang terlalu aneh ini juga terlalu mengganjal.
“Ok, mungkin ini kedengeran aneh. Tapi dengar dulu. Semenjak kamu liat si Tadashi-Tadashi itu kamu ngerubah tumbs picture di aplikasi chat mu, posting entah berapa foto yang kamu screen capture dari film, bahkan gambar kita di hapemu udah diganti ama gambar Tadashi. I’m… worried.”
Agra tersenyum kecut saat melihat Reika malah tersenyum lebar mendengar pengakuannya. Perlu keberanian setingkat gatot kaca untuk mengeluarkan pikiran teraneh yang pernah dimilikinya.
“Jangan nyegir lebar-lebar deh! Jelek tau!” Protes Agra
“Kamu jealous yaaa?” Goda Reika.
Agra hanya memalingkan wajahnya. Bullseye. Dia memang cemburu. Pada sebuah tokoh imajiner 3D dari film kartun anak-anak. Tapi, iya, dia cemburu.

-

Dalam pikirnya, Agra punya alasan kuat untuk cemburu, bahkan mungkin merasa terancam dengan mabuknya Reika pada Tadashi Hamada. Tadashi Hamada yang adalah seorang ilmuan jenius. Tadashi Hamada tokoh lovable ke-kakak-an. Tadashi Hamada yang menciptakan robot yang bisa berguna bagi perawatan kesehatan di masa depan. Tadashi Hamada yang bahkan jauh lebih tampan dari dua pangeran di fim Frozen. Tadashi Hamada yang imajiner.
                Poin terakhir membuat Agra ingin meninju tembok terdekat. Ayolah, dia imajiner!, logikanya berontak.
                Namun, Agra mampu bersumpah bahwa dia tidak berpikir terlalu aneh. Ini semua salah Oga Tatsumi.

-

                “Gue mirip siapa?” Tanya Agra saat Reika, gadis yang dikenalnya minggu lalu mengatakan ia mirip seseorang dengan nama asing.
Agra mencoba menahan senyumnya. Mungkin ia mirip artis idola yang sedang digandrungi sekarang.
    “Ini!” Reika menunjukan sebuah gambar di selulernya.
                Gambar kartun.
                “Heeeee? Mirip apanya?”
                “Mirip tau! Gue pertama ketemu lo pas lo lagi megang ponakan lo gitu. Tapi muka lo jutek gila! Dingin-dingin cool. Kayak si Oga dan bayi ini…”
                Agra mencoba mengingat-ingat momen itu. Ia bertemu Reika dipernikahan sepupunya. Ia lelah, karena malam sebelumnya baru saja menyelesaikan rapat proyek sampai dini hari. Walaupun iya tidak bisa mengingat apakah wajahnya saat itu jutek, yang jelas ia kurang tidur, dan lebih memilih untuk menjaga keponakannya, Miki. Namun lelahnya terangkat ketika ia melihat seorang gadis terkesima menatapnya. Gadis yang menarik, pikir Agra saat itu. Dan atas dasar syaraf-syaraf kepala yang lemah karena kurang beristirahat, Ia melakukan sebuah hal yang tak pernah ia coba sebelumnya.  He made a move.

-

                Reika masih saja tak percaya Agra sebegitu terganggunya dengan keberadaan Tadashi Hamada. Walaupun akhirnya Agra memberikan jawaban yang cukup logis di sebuah pesan singkat yang diterimanya sore ini.

You like me because I look like that guy with a baby cartoon. Dan dengan sebegitu gilanya kamu dengan Tadashi sekarang, mungkin aja kan alam bawah sadar kamu mencari sosok kayak dia.

                “I’m not that weird!” Reika mendengus saat membaca text itu.
                “Order up for Reka.”
                “Ya, saya!” Jawab Reika. Pasti nama gue ditulis salah lagi deh, pikirnya.
                Reika meraih order di counter dan segera menancapkan sedotan saat suara di belakangnya  memanggil  “Mbak, maaf, kayaknya itu Frappe saya.”
                Reika menoleh dan seorang laki-laki muda dengan baseball cap berwajah familiar memandangnya dengan wajah bingung.
                “Order up for Reika” Seru si barista.
                “Oh my God!” Reika memekik.

-

                   Reika Andari:  Sekali maaf ya buat yang tadi :(
        Reka Yamada: Gapapa sih. It’s not everyday I get an order exchange, and number exchange afterwards X). It was nice talking to you.
        Reika Andari: Hahaha. Same here. Btw, lo mirip siapa ya?
        Reka Yamada: Siapa hayoooo?
        Reika Andari: Ok this might sounds crazy, tapi lo mirip Tadashi Hamada. Tokoh di film Big Hero Six
        Reka Yamada: Because i’m half Japanese? That’s so un-cool!
        Reika Andari: Nooo.. Ya ampun, enggak!!
        Reka Yamada: Hahaha. Got you!
        Reika Andari: Gak lucu X(
        Reka Yamada: Bercanda2. I know that movie. Bahkan relatable banget ama gue itu film
        Reika Andari: Oh ya?
        Reka Yamada: Iya, I’m a PhD student in Robotic Engineering

-


               

Thursday, October 2, 2014

Mungkin

Ardana terbangun dengan kepala yang berat. Tangannya menggapai jam meja yang pagi ini gagal membangunkannya. Mungkin rusak. Mungkin memang alam bawah sadarnya yang tak rela ia pergi terlalu pagi. Apapun itu, ia hanya bisa mengutuki hari yang akan terasa sama. Ia akan pergi ke lab komputer, bekerja sampai gila, namun setengah jumlah kalimatnya akan ia hapus di akhir hari.

-

Tidak biasanya lab komputer ini sepi, pikir Ardana. Mungkin orang-orang sedang meliburkan diri dari kehidupan akademik. Mungkin ia datang terlalu pagi. Ah, iya, hari ini masih libur tengah semester. Ia mendengus sembari duduk di sudut favoritnya, "Meh, libur." pikirnya sembari menyalakan PC dan menginput ID.

-

"Komputer mana yang rusak?" tanya petugas IT mekanik
"Yang di sudut itu" jawab si manager.
"Lho ini bukannya sudah saya perbaiki dari minggu lalu?"
"iya, tapi masih juga belum nyala"
Petugas IT itu menggaruk-garuk belakang kepalanya. Sebenarnya komputer disudut ini adalah komputer ketiga yang ia letakan di sudut lab komputer ini dalam 2 bulan belakangan. Kedua unit sebelumnya pun ketika dites ulang di kantor tidak pernah bermasalah. Ia hampir yakin, unit ini pun mempunyai nasip yang sama. Mungkin soket listriknya yang rusak. Mungkin...

-

Ardana memandang layar komputer itu dengan wajah kusut. Di sudut itu ia memandang kursor yang terus saja berkedip.  

Wednesday, April 16, 2014

Dear Stalker



“Umur segini masih nyetalker, kawinnya kapan,  masbrooo?”
“Kayak lo gak baru ditolak aja ama Desri. Udah ke berapa kali? Itungan di jari gue udah abis kayaknya”
“Setan alas.” 

Skak mat. Setelah sukses membuat Hendra mencibir, gue pun lanjut baca blog post Mbak Ananda. Shoot, ini cewe emang minta di stalker parah. Tiap hari update status. Kegiatannya besok ngapain aja gue bisa tau lewat twit-twitnya. Ok, I know, I know. This is crazy, dan mungkin gue bisa ditangkep gara-gara hal kayak gini. Tapi gue gak sampe nge-grab fotonya dan nyimpen tulisan-tulisannya di tumblr kok. Nah itu baru gila!

Hmm. Sampe mana gue tadi? Ah, blog post Ananda Putri Sriwedari. Duh, namanya aja menggoda banget ya? Menurut pengetahuan cemen gue sih, artinya anak perempuan surga. Tampangnya emang surgawi banget. Bikin adem. And thank God, she’s not that kind of mbak-mbak dengan status aneh macam “Cz only U in my hert”. Hertz, bukannya macam satuan listrik ya? Well, she’s just interesting with all her thought about interesting stuff, like international pudding day. Adorable. Gue melting.

Oh iya, perlu diketahui, gue bukan mas-mas sakit jiwa yang nge-add orang dengan alasan “eh, cakep nih, add ahh...”. Bahkan gue pernah menelantarkan facebook gue lantaran bosen. Si Mbak Ananda ini datang pun tak dijemput, enggak, gue juga belom pernah nganterin pulang. Garing yak...  Gue yang kala itu memutuskan buka jejaring sosial lagi mendapat add dari si mbak ini. Pas dicek, mutual friend nya temen-temen smp dan sma. Jangan-jangan dulu ketemu pas kawinan temen. Pernah sih beberapa kali ketemu yang agak menjanjikan tapi sering kali gagal di follow up gara-gara kerjaan kantor yang kelakukannya udah kayak pacar paling demanding sedunia. Probably she’s the way out. Batin gue saat mengklik “approve”

-

Kotak chat Ananda Sriwedari dengan bulatan pertanda online udah gue tatap selama 30 menit terakhir. Man, gue harus ngomong apaa? “Hi”, gitu? Terus kalo dibales dengan “Hi” lagi gue lanjut gimana? “Kita kenal dimana ya?” Masak gitu sih? Gue bakal keliatan kayak anak ABG yang nge-approve cewe yang gak dikenal cuma gara-gara cakep doang dong? Eh, tapi kan saat itu memang asalnya iseng. Kejombloan menahun kadang membuat kita lemah memang. 

Gue kembali menghela nafas. Udah hampir 4 bulan dari gue pertama baca postingnya soal trip nya ke Rinjani dan sampe sekarang tetep gak berani ngapa-ngapain. Boro-boro nge-like. Damn, cupu amat sih! Ayolah, gue tau hobinya, aktivitas kucing peliharaannya, tempat menyepi dia kalo lagi sedih, film-film kesukaannya dan kebenciannya ama motor yang knalpotnya berisik. Masak nyari omongan aja gak bisa?! 

Here we go!

Gue pun mengetik “Hi”. Setelah ngerapel doa, gue mengklik enter. Ini kalo ada backsound pasti udah kayak orang motong kabel bom waktu. 

“Hey”

DIJAWAAAABBBBB!!!

Wait, she is typing more.

“I thought you would never tried”

Ok, this is weird.

-

Gue gak menyesali langkah gue dua minggu lalu. Mbak Ananda ini fun banget! Kenapa gue masih manggil dia pake Mbak ya? Nanda. Namanya panggilannya, Nanda. Dia minta dipanggil begitu sih. Gue dan Nanda pun layaknya ABG masa kini. Chat facebook, kirim-kiriman whatsapp, kadang telponan dengan Line. Meh, sungguh mejik ini teknologi inpormasi.

“Ajak ketemuan dong, Rik...” ujar Hendra tiba-tiba.
“Mm... Nanti deh.”
“Kenapa? Takut lo ternyata dia akun fiktif dan yang dateng om-om genit?”
“Ih, geli amat bayangan lo. Iya-iya nanti gue pikirin”

Gue menghela nafas panjang. Sebenernya pikiran untuk ketemuan udah ada sejak hari pertama dia bales chat gue. Harus diakui gue freaked out dengan balasan keduanya. Dia tau gitu gue stalking? Kalo ditilik dari fakta bahwa dia duluan yang nge add gue, she’s probably the one that actually waiting for me. She likes me first! Wajar sih, kata nyokap mah gue ganteng dan bersahaja. Yah, gak rugi lah punya bokap mantan artis, walaupun cuma di film dokumenter pembangunan daerah. Jadi Kades perannya waktu itu. Sialnya kontemplasi dari mana asal kegantengan gue gak akan menjawab PR di tangan, ajak ketemuan gak nih?

-

Apa ya yang bikin gue ragu ketemuan ama dia? Udah kelar juga pencarian gue untuk memastikan dia bukan akun fiktif yang foto-fotonya diambil dari google. Orangnya beneran. Asli ada. Suaranya enak banget lagi, empuk-empuk gitu kayak penyiar radio. Gue bahkan nyari ngubek buku taunan SMA untuk ngebuktiin kalimat Nanda yang bilang bahwa kita sempet satu sekolah. I proved it. Gue liat fotonya, cakep juga pas sma. Kok bisa kelewatan ya? Pasti gara-gara gue kebanyakan liat anak-anak cheerleaders yang levelnya jauh di atas gue yang cuma bermodal nilai rata-rata dan tampang di bawah standart. Belom ganteng gue waktu itu.

Ting! Sebuah ide gila muncul. I already knew everything about her. She’s actively updating everything in her life, like daily. Kenapa gak gue stalk beneran aja?!  Brilian... kan? Walaupun setengah suara di kepala gue berseru riang, setengahnya lagi berpikir ini ide gila. Kriminal bahkan. Iya banget beneran jadi stalker! Mau pake jas panjang, kaca mata item bawa koran bolong yang dipake ngintip gitu? Cerdas! Eh, gak waras!
Tanpa gue sadar, beberapa jam setelah ide itu muncul gue udah ada di luar kantornya. Tanpa jas panjang dan sabuk perlengkapan a la Batman,  gue terlihat sangat normal. Seperti eksekutif muda yang sedang menunggu pacar untuk pulang bersama. Ralat, calon pacar. Itupun kalo gue udah yakin dia napak tanah dan ternyata tidak gaib. Kenapa tiba-tiba jadi horor gini auranya?

Sebuah text masuk membuyarkan buah pikir gue nan cemerlang.

“Can’t believe you go this far on proving my existence, dear stalker”

Damn.

-

Gue dan abang tukang mie ayam tenggelam dalam kebisuan kami masing-masing. Hanya si abang mie ayam yang kebisuannya produktif. Sepertinya dia pendiam dan suka memendam perasaan. Mungkin semua keluh kesahnya tertuang dalam mangkuk ayam jago yang sedari tadi dilapnya. Rasanya gue mau menepuk pundaknya dan bilang, “udah bang, udah kering mangkoknya.” Namun selain agaknya sungkan buat bertindak sok akrab, pikiran gue juga lagi bergumul dengan paket berbungkus kertas coklat di pangkuan.

Yep, setelah adegan ke gep lewat text dua minggu lalu. Gue memutuskan untuk enggak lagi mengkontak Nanda, melepaskan diri dari stalking semua kegiatan onlinenya, bahkan menghentikan akses gue ke dunia maya. Thanks to my boss cyber paranoia, semua urusan kantor disampaikan melalui tulisan tangan yang gak lebih jelas dari kertas resep dokter. Hidup gue nyaman dan aman kembali seperti sedia kala. Sampai seorang OB kantor datang ke kubikel, dan bilang “Mas, ada yang titip paket tadi pagi-pagi banget buat Mas Riko. Cewe, mas. Cakep.”

Pandangan gue kembali ke paket coklat di pangkuan. Adalah sebuah tulisan kecil di atasnya yang membuat gue ragu, tepatnya takut untuk tau apa yang ada di dalamnya. “Dear, Stalker.” Buka! Buka! Buka! Seru suara-suara di kepala gue.  Well, I guess, that’s it. I’m throwing this away! This is the way out! Gue pun berdiri dengan sikap postur tegak sempurna. Si abang yang pun terkesiap dengan sebuah pandangan yang hampir slow motion.

“Mas, gak jadi makan?” Tanyanya kemudian.
“Maap bang, tiba-tiba ilang lapernya. Maap ya.” Jawab gue cepat ambil melangkah pergi.

“Mas, ini Mas, barangnya ketinggalan!”

Gue terus melangkah.

“Kenapa ditinggal?” Tanya sebuah suara yang jelas bukan milik abang tukang mie ayam membuat langkah gue berhenti dan berbalik badan.

Beberapa meter di hadapan gue, berdiri sesosok gadis non-fiktif. Kakinya menapak tanah dan tidak ada tanda-tanda adalah makhluk gaib.Cakep.

“I’m waiting for you to give it to me yourself, dear stalker.” ucap gue seganteng mungkin.

Wednesday, April 9, 2014

Mburjo

Nada panggil itu masih terus berdengung.

"Burjo yo, Ren!"
"Duh, aku masih ngurus persyaratan wisuda je, Lang"
"Oh, ya udah. Eko ngajakin mburjo ama anak-anak. Mau syukuran acc proposal skripsi katanya."
"Hahaha. Ya udah, nanti aku nyusul wae yo"

-

Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.

"Cie yang udah wisuda..."
"Cie yang belum wisuda..."
"Hahaha, nyindir banget. Traktiran dong, Mas!"
"Wee... Ulang taunku wis lewat lho, Terra."
"Ya elah, traktiran paling juga level burjo nunggu ulang taun"
"Ok, ok, mau kapan? Tapi aku beresin kost dulu ya besok mau balik ke Bandung soalnya"

-

Kali ini nomor yang ia hubungi bernada sibuk

"Wih, Eko?"
"Ren? Wah, gak nyangka bisa ketemu disini"
"Iya, lama gak denger kabarnya malah ketemu di negeri orang"
"Liburan doang, kok"
"Sugih yooo..."
"Apa daya si nyonya yang minta, pengennya mah ngajakin reuni, ngeburjo bareng lagi"

-

"Mas, Indomie telornyah"
"Makasih, A'"
"Mm, Mas, boleh nanya?"
"Sok atuh, A'"
"Mas yang ada di poto itu yah?"

Ren memandang foto yang dimaksud sambil tersenyum getir. Tiga dari lima wajah di foto itu adalah pemilik nomor-nomor yang sedari tadi ia hubungi. Namun, kegetirannya bukan dikarenakan tiga orang tersebut tidak kunjung menjawab telponnya. Adalah sosok keempat sumber dari segala alasannya kembali ke tempat ini. Sosok yang baru saja ia hadiri pemakamannya.

"Gak ngeburjo dulu kita sebelum kamu balik ke Bandung"
"Kereta ku dua jam lagi, Do"
"Wah, berarti yang kemaren bareng anak-anak beneran yang terakhir mburjo bareng ya"
"Ya enggak lah, kayak gak bisa reunian aja"
"Hahaha, Iya bener. Nanti foto yang kemaren, tak tempel di burjo ah, buat jadi kenang-kenangan kalo kita kumpul-kumpul lagi"

Thursday, September 12, 2013

Curse of the 2D Crush



Sering kan membaca shojou manga dimana tokoh utama perempuan mempunyai beberapa sahabat yang jarang digambarkan secara jelas? Kemunculannnya pun sebatas penasehat ketika si tokoh perempuan galau karena diperebutkan beberapa tokoh laki-laki. Salah satu tokoh pendukung itu biasanya bergaya sangat biasa, seorang mangaka tidak akan repot-repot merubah tatanan rambutnya maupun gaya busananya. Namanya pun tidak akan diimbuhkan “-chan” karena tidak akan ada yang memanggilnya dengan panggilan “-chan”. Dan saat cerita dari manga itu selesai tidak akan ada yang peduli kemana si tokoh pendukung ini berakhir.

Mungkin bisa jadi itu aku. Si tokoh pendukung. Aku masih ingat ketika Arlita bersemu merah saat pertama kali bertemu Todi di hari pertama tahun ajaran baru. Seperti kisah romantis di one-shot manga, nasib kedua orang itu bisa ditebak kemana jalannya. They become the sweetest couple on earth, dan aku hanya tokoh pendukung yang meyakinkan Arlita ketika gadis manis itu ingin mengungkapkan perasaannya. 

Jika pun terdapat side stories tentangku, pasti akan sangat membosankan. Bagaimana tidak ketika yang kulakukan hanya membaca komik dan mengaguminya? Literally, mengagumi tokoh-tokoh di dalamnya, lalu diam-diam menjalin emosi fiktif dengan karakter-karakter tersbut. Yang bisa kubayangkan adalah pembaca hanya akan disuguhkan gambar-gambar si tokoh pendukukung yang tiba-tiba mimisan secara dramatis sewaktu membaca manga.

“Kurei...” Ujar si tokoh pendukung tersungkur lemas dengan gambar bola nyawanya yang mengapung ke atas.

-

Seperti yang kukatakan si tokoh utama perempuan akan memiliki ending manis dilatarbelakangi scene pantai, stasiun, atau depan belakang sekolah lama. Sebelumnya mereka akan berpisah sebentar dan saling mencari karena tiba-tiba sadar akan perasaan yang keduanya miliki. Ahhh, klise. Namun tetap saja klise seperti ini yang akan didapatkan dari semua manga manis lainnya.

Anyway, di mana si tokoh pendukung saat itu? Entah. Tidak pernah digambarkan. Tapi dalam kasusku si tokoh pendukung menghabiskan hidupnya dengan statis. Hanya kacamata gaib yang bisa melihat api yang berkobar ketika ia membaca manga-manganya. Setiap kali ia menghela nafas sebenarnya ia sedang pingsan karena excitement berlebih.  Geliginya juga beberapa kali akan beradu ketika aksi pada kisah yang ia baca sedang memuncak. 

Kini, sepertinya aku hidup dalam yonkoma manga yang berjalan tanpa plot apapun. Hanya kegiatan keseharian yang sangat-sangat standar walau kadang menghibur lewat potongan cerita kecil. Seperti dibawah ini:

“So, you never really have a crush with anyone real?”
“Describe real!”
“HUMAN. With flesh.”
“Hey I’ve been crushing on this HUMAN for years!”
“He’s drawed as human, he’s a character”
“How could you say this to me when you have a lot of Super Junior poster in your room and nearly always talking about almost an adult film scene with 13 guys?”
“Daym, you got a point. And it’s not adult film scene! But they are real guys!”
“My kurei is a real guy, with wings of fiyaaahhh...”

--  

“Is that Kurei?”

Sebuah pertanyaan terlempar dari sebelah atas kubikel ku. Suaranya familiar. Tapi hidupku kan bukan sebuah cerita manga dimana tokoh penyendiri tiba-tiba mendapatkan pangeran yang menerimanya apa adanya? Ok, itu terlalu jauh. Sebaiknya aku menengok sekarang.

“Maya?”
“Todi?!”
“Ih, harusnya gue udah nebak ya ini siapa lagi coba yang suka pasang-pasang gambar kartun”
“Hahaha, iya” aku tertawa datar

Ok, hidupku mungkin bukan manga, tapi dunia kan memang sempit. Wajar jika si tokoh utama laki-laki kembali terlihat, mungkin tidak lama lagi aku akan berada kembali dalam cerita mereka.  Mungkin ini hanya scene dimana si tokoh utama perempuan akan menelponnya mengajaknya makan siang dan ia akan bercerita tentang harinya dan bagaimana ia bertemu teman lama di kantor. Hey, tapi ini kantor ku.
“Lo ngapain disini, Di?”
“Oh, abis meeting sekalian branch visit. Gak nyangka ketemu temen lama disini”
“Hahaha, iya” aku tertawa datar lagi.
“Eh, lo udah lunch? Dimana makan enak deket sini? Lunch on me deh.”

---

Kami makan siang dalam diam. Apa yang harus kubicarakan? Sepertinya dia hanya akan mengejek ku jika aku membicarakan chapter terbaru Kaichou wa maid-sama yang keluar hari ini. Tapi itu kan shojou, mungkin dia akan lebih suka One Piece. Huff, kenapa pusing-pusing mencari topik seperti itu, seingatku dia sama sekali tidak menyukai manga.
“Eh, jadi lo masih suka nonton kartun?” tanyanya antusias.
“Eh, kartun? Gak juga, paling baca aja. Gak sempet untuk nonton animenya.”
“Oh, iya. Gue juga suka tuh. Kemaren gue nemenin ponakan gue nonton despicable me 2”
“Heh?” aku mengeluarkan wajah kecewa yang harusnya beraksesori keringat besar di pojok kepalaku.
“Kenapa?”
“Oh, maksudnya kartun beneran ya?”
“Hehehe, iya, salah ya?”
“Enggak-enggak... Belom, kalo despicable me 2 gue belom nonton”
“Arlita, apa kabar?”
“Mm... baik, mungkin”
Ada yang terasa aneh. Sepertinya mungkin aku salah bicara. Aduh, gimana ini?
“We’re going to get married”
Ahh, begitu...
“Wah, selamat ya.”
“Hahaha, iya. Thanks.”

----

Sebagai tokoh pendukung seharusnya pertemuan kami berakhir dimakan siang itu. Namun pembicaran kami tidak habis saat ia kembali ke kantornya di kota sebelah. Text demi text membuatku merasa aneh karena yang ditanyakan tidak lagi sebatas mengenai pekerjaan. Kini kata “selamat pagi” sampai “have a good rest” tidak absen membuka dan menutup hariku dua minggu belakangan. Puncaknya adalah sebuah text berakhiran “I wish you were my girlfriend”. What the hell...? Sepertinya ini harus diakhiri sebelum seorang gadis calon pengantin mendatangiku dan melempar benda berat ke arahku.  
“Hey, have a time for lunch? My treat. Gak enak kemaren udah dibayarin makan.” –text send-

--

“So, my point is, you have to stop texting me.”
“Hah? Kenapa?”
“Gak nyaman, dengan fakta bahwa  lo udah pake cincin”
Todi mengeluarkan senyum dan membersitkan sebuah tawa mencemooh.
“Ok, mungkin gue ke-ge-er-an. But, dont you think it’s just mean to play around like this?”
“Gue gak play around. What if i really like you? I always been into you.”
“go to hell” tanggapku sinis.
“You can go to hell with all your stupid cartoon collection!” suaranya meninggi
Aku terbungkam, wajah Todi menyiratkan keseriusannya. Mungkin ia tidak main-main. Bukan, bukan main-main, karena rentetan kalimatnya membuatku degup jantungku melaju kencang.
 
“If only you never hide your nose under all those comic books, and fall in love with a real guy that i can compete with! Gue rela ribut ama siapa pun cowo yang jadi pacar lo. Kalo yang lo sukain aja tokoh dua dimensi, apa gue harus ikut cosplay supaya bisa dapetin perhatian lo?”
 “Bentar, bentar, lo nyalahin gue karena obsessed ama tokoh di manga dan lo gak bisa deketin gue karena itu? Lo pikir gampang nahan diri liat lo berada di deket gue tapi terasa gak bisa digapai karena lo macarin temen baik gue? That mangas save me from killing myself because envy and jealousy!”
“So... you like me?”
“Liked. With D. Charm lo luntur begitu sekarang gue tau lo pernah dikalahin kumpulan gambar 2D.”

---

Aku menghela nafas berat. Jika kejadian tadi siang adalah side story di sebuah manga, bisa dipastikan tidak ada akhir cerita yang berubah. Tokoh utama laki-laki tetap akan menggandeng tokoh utama perempuan saat mereka mengucapkan janji di depan altar. Dan aku akan tetap disini memandangi Kurei dengan sayap apinya. 


(manga= komik jepang, shojou manga= komik jepang untuk remaja perempuan, berkisar tentang cerita romantis disekolah. yonkoma= komik empat kotak, seperti kobo-chan, Kurei dengan sayap api bisa dilihat di seri Flame of Recca/Recca no Honoo karya Anzai Nobuyuki, vol. 17, chap. 165)

Tuesday, August 27, 2013

Kejutan Ulang Tahun Kitto

"Kitto sayaaaangggg!!"
Seruan dari ujung telpon membuat pemuda bernama panggilan Kitto otomatis mereject panggilan tersebut.
Belum ada 10 detik berlalu, sebuah telpon dari suara macho-macho cempreng memanggil lagi dengan kerasnya.
"Kangeeeenn kamu beybihhhhh!!"
Sekuat tenaga Kitto pun menekan tombol reject kembali memeluk gulingnya.
Ketenanganan yang ia inginkan betahan selama satu menit sampai sebuah nada panggil terdengar seperti dengungan combo sirine mobil pemadam kebakaran dan rombongan kambing kurban yang diseret ke pemotongan.
Tanpa melihat layar selulernya ia pun menjawab sepenuh hati,
"ANJ*NG LO BEDUA, GUE BARU TIDUR SUBUH, NYEEETTT! GARA-GARA KEJUTAN ULANG TAUN LO YANG KAMPRET ITU.. PENGEN TIDUR GUE! AWAS LO KALO..."
"Yoga..."
"Eh, Mama.. ehe-ehe-ehe..."

***

Tersebutlah Kitto, Armand, dan Alphyn. Tiga individu dengan kepribadian ajaib yang bersatu dalam sebuah nama "The STUPID Creature". Bukan bermaksud menempelkan label eksklusif karena anggota mereka yang bertahan pada angka yang sama semenjak 7 tahun pembentukannya, tapi memang belum ada orang waras yang cukup rela menempelkan identitas The STUPID creature yang konon bisa mengganggu kesehatan jasmani dan rohani.

Malang tak dapat ditolak bagi Kitto, pergantian umurnya menjadi 20, dimana seharusnya dengan langkah bangga ia meninggalkan umur belasan harus dijalani dengan berlinang air mata. Literally, Kitto aka Yoga Pramana menangis.

-

Tiada lain selain 2 siluman codot, begitu sebut Kitto, yang merupakan teman baiknya  telah menjalankan sebuah rencana brilian. Mereka membuat skenario dirampoknya kamar kost Kitto pada pukul 3 dini hari. Terlebih dahulu mereka membuat kejutan ulang tahun yang reguler dengan membawa kue ulang tahun bertuliskan "YOU'RE OLD NOW" pada tengah malam lalu mengajaknya ke restoran burger cepat saji 24 jam untuk minta ditraktir ice-cream cone. Di saat mereka bertiga pergi, teman-teman kost Kitto yang lain sudah bersiap mengacak-acak kamar Kitto dan menjadikan TKP terlihat seperti kerampokan. Si rampok menggasak laptop, hape, baju superman dan bantal kesayangan Kitto, sebuah bantal bapuk yang menyimpan memori berbagai mimpi dewasa Kitto.

"Njingg! Tugas gueee... Laporan gueee.. Gue garap dari seminggu laluuu!" Ucap Kitto yang tertunduk lemas sambil memegang kantong kentang gorengnya.
Armand melihat hal tersebut sebagai ajang unjuk kebolehannya bermain teater. Ia pernah bermain di Gedung Kesenian Jakarta, pada saat SMA. Menggantikan temannya pemeran Pohon Belimbing yang jatuh sakit karena pilek akut berkepanjangan.

"Sabar ya, To.. Mungkin ini petunjuk dari Tuhan, bahwa laporan dan tugas lo belom maksimal. Jadi dikasih kesempatan ngulang lagi.."
"Maksud lo nyeeeettt??! Dikumpulin semuanya besokkk.. Gue kapan ngulangnya?! Taun depann?!"
"Yah masih ada kesempatan kan to.. kuliah kan 7 taun"
"LO KATA??!"

Kitto kehabisan kata-kata, ia hanya terdiam... Laptop.. Kemalingan.. Biarpun ditemukan lagi, bayangan mengerjakan dari awal sudah memberikannya mimpi buruk. Namun hal paling masuk akal sekarang menurutnya adalah mengerjakannya lagi, sebisanya. Paling tidak itu rencana untuk pengumpulan tugasnya esok hari, karena alasan "Pak Laptop saya ilang" sudah pernah dipakai semester kemarin pada dosen yang sama. Yang berbeda, kali ini laptopnya benar-benar hilang.

Mata Kitto berkaca-kaca, hidungnya mulai berair. Sedikit banyak ia menolak menangisi kemalangannya. Mau ditaro dimana kemachoannya yang tahan tidak menangis ketika menonton Hatchiko, tapi nampaknya kehilangan laptop dengan isi-isinya di hari ulang tahun benar-benar membuat Kitto terguncang.

"To, lo nangis, To?" tanya Armand menyadari muka terlalu-sedih-dan-syok Kitto.
"Enggak, enggak, kelilipan gue, kamar gue banyak debunya, sinus gue kambuh." jawab kitto.
"Hacchi! Hacchi!" tambahnya pura-pura bersin.
"udah-udah, nih lo ngerjain lagi sebisanya dulu deh pake laptop gue" ujar Alphyn sambil menyerahkan sebuah laptop.
Kitto butuh tiga detik untuk menyadari laptop ditangan Alphyn adalah miliknya.
"ANAK SETANNNNN!!!!!!" serunya.
"Happy birthday, Masbrohhhh!!" seru kedua wajah didepannya sambil nyegir bahagia.

--

Sunday, August 25, 2013

Replay



Tubuhnya masih bergetar satu jam setelah layar televisi di depannya memberitakan jatuhnya pesawat yang membawa Kendra. Padahal ia masih bisa merasakan gadisnya itu memeluknya erat sebelum pergi. Ia juga masih bisa mengendus parfum Eternal Jasmine yang selalu Kendra  pakai. “Jangan lupa makan yang sehat” kalimat terakhir gadisnya sebelum pintu bandara menelannya. 

Kini semua itu terus berputar dikepalanya bercampur dengan bayangan goncangan pesawat yang pasti membuat gadisnya ketakutan luar biasa.

Jika ia tahu apa yang akan terjadi ia akan memeluk gadisnya itu lebih erat. Peduli setan, ia bahkan tak akan membiarkan gadisnya menginjakan kaki di bandara itu sekalipun!

-

“Bangun, bangun, baaaangunnn...” seru suara familiar yang sangat menganggu.
Ia membuka matanya dan melihat Kendra di depannya.
“Gak ngantor?” tanya Kendra dengan sendok kayu ditangannya.
Ini mungkin mimpi. Seperti di film-film, bukan? Pikirnya berasumsi. Ia sedang mengalami shock hebat sampai memimpikan gadisnya, membangunkannya, sebuah bayangan tentang versi kehidupan yang ia inginkan selama ini. Baiklah, ia akan memainkan perannya di mimpi ini.
“Umh, iya ngantor... Kamu juga ngantor?”  
“Iya laaahh, ngapain bangun pagi-pagi kalo gak ngantor. Aku udah nyiapin sarapan ama bekal lho. Baby kailan lagi gak apa ya? Masih banyak, takut jadi jelek kalo gak di habisin”
Ia mengangguk sambil tersenyum. Ini mimpi terbaik yang ia miliki. dan ia harap tak akan pernah bangun lagi.

-

“Bangun, bangun, baaaangunnn...” seru suara familiar yang sudah lagi tidak menganggu.
“Iya, iya, aku ngantoooorr...”
“Hehehe, gitu dooong...”
“Abis masak baby kailan lagi?”
“Kok tau?”
“Nebak aja”  

-

“Bangun, bangun, baaaangunnn...” seru suara familiar yang tidak bosan menganggunya.
 Jika boleh jujur ia pun tidak bosan. Terserah pagi seperti ini mau berulang berapa kali. Terima kasih, Tuhan! Batinnya berseru setiap pagi.
“Udah banguuunnn, udah banguuunnn... ” Jawabnya antusias.
“Hore!”
“Hore makan baby kailan!!”
“Lho kok tau? Kemaren buka-buka kulkas ya? Maap belinya kebanyakan”
“Gak apa kok...”

-

Maka ia pun menjalani mimpinya dengan sepenuh hati, tidak seberkas rasa jenuh pun menghampirinya. Hidup macam apa lagi yang bisa ia inginkan jika bukan seperti ini. Rangkaian harinya dibuka dengan gadisnya, yang sudah menjadi teman hidupnya, membangunkannya, memasakan sarapan dan bekal yang tidak proporsional karena sepertiganya berisi porsi sayuran. Lalu ia akan pergi untuk menghadapi meeting yang tidak pernah ia mengerti, untuk kembali pulang dan berhadapan dengan cheesecake lemon yang dimakan harus dengan saus coklat karena terlalu asam. Hidup, atau mimpi, ini indah. Sekali lagi, Terima Kasih, Tuhan!

-

Pagi-pagi dan hari-hari berikutnya masih berulang layaknya sebuah video dengan tombol replay yang akan teraktivasi otomatis setelah detik terakhir. Namun, sebuah anomali terjadi saat Kendra menanyakan,
“Kamu gak pernah merasa jenuh?”
Ia terdiam mendengar perkataan itu.  Pertanyaan ini tidak ada di hari-hari sebelumnya. Ia hafal benar setiap detik yang terjadi, dan saat ini, saat gadisnya sedang menyuap sepotong cheesecake, kalimat yang akan ia katakan seharusnya “Aseeeemm... pake coklat aja ya makannya.”
“Hey, kamu gak dengar pertanyaanku?”
“Denger. Ehm, jenuh, enggak, kan ada cheesecake.”
“Gak nyambung. Besok pergi yuk, ke Bali.”
“Hah, besok? Emang gak ngantor?”
“We have to make the best, as if it’s our last.” Jawab gadisnya antusias.

-

Tubuhnya bergetar hebat saat melihat  tatapan kosong Harvey. Dengan pelan ia mengarahkan kursi rodanya mendekat.  Menggenggam tangan pria yang ia peluk sebelum pesawat sial itu jatuh dan membuatnya lumpuh.
“Aku pulang, sayang.” Bisiknya pelan.