Sering kan membaca shojou
manga dimana tokoh utama perempuan mempunyai beberapa sahabat yang jarang
digambarkan secara jelas? Kemunculannnya pun sebatas penasehat ketika si tokoh
perempuan galau karena diperebutkan beberapa tokoh laki-laki. Salah satu tokoh
pendukung itu biasanya bergaya sangat biasa, seorang mangaka tidak akan
repot-repot merubah tatanan rambutnya maupun gaya busananya. Namanya pun tidak
akan diimbuhkan “-chan” karena tidak akan ada yang memanggilnya dengan
panggilan “-chan”. Dan saat cerita dari manga itu selesai tidak akan ada yang
peduli kemana si tokoh pendukung ini berakhir.
Mungkin bisa jadi itu aku. Si tokoh pendukung. Aku masih ingat ketika Arlita bersemu merah saat pertama kali bertemu Todi di hari pertama tahun ajaran baru. Seperti kisah romantis di one-shot manga, nasib kedua orang itu bisa ditebak kemana jalannya. They become the sweetest couple on earth, dan aku hanya tokoh pendukung yang meyakinkan Arlita ketika gadis manis itu ingin mengungkapkan perasaannya.
Jika pun terdapat side stories tentangku, pasti akan sangat membosankan. Bagaimana tidak ketika yang kulakukan hanya membaca komik dan mengaguminya? Literally, mengagumi tokoh-tokoh di dalamnya, lalu diam-diam menjalin emosi fiktif dengan karakter-karakter tersbut. Yang bisa kubayangkan adalah pembaca hanya akan disuguhkan gambar-gambar si tokoh pendukukung yang tiba-tiba mimisan secara dramatis sewaktu membaca manga.
“Kurei...” Ujar si tokoh pendukung tersungkur lemas dengan gambar bola nyawanya yang mengapung ke atas.
-
Seperti yang kukatakan si
tokoh utama perempuan akan memiliki ending manis dilatarbelakangi scene pantai,
stasiun, atau depan belakang sekolah lama. Sebelumnya mereka akan berpisah
sebentar dan saling mencari karena tiba-tiba sadar akan perasaan yang keduanya
miliki. Ahhh, klise. Namun tetap saja klise seperti ini yang akan didapatkan
dari semua manga manis lainnya.
Anyway, di mana si tokoh pendukung saat itu? Entah. Tidak pernah digambarkan. Tapi dalam kasusku si tokoh pendukung menghabiskan hidupnya dengan statis. Hanya kacamata gaib yang bisa melihat api yang berkobar ketika ia membaca manga-manganya. Setiap kali ia menghela nafas sebenarnya ia sedang pingsan karena excitement berlebih. Geliginya juga beberapa kali akan beradu ketika aksi pada kisah yang ia baca sedang memuncak.
Kini, sepertinya aku hidup dalam yonkoma manga yang berjalan tanpa plot apapun. Hanya kegiatan keseharian yang sangat-sangat standar walau kadang menghibur lewat potongan cerita kecil. Seperti dibawah ini:
“So, you never really have a crush with anyone real?”
“Describe real!”
“HUMAN. With flesh.”
“Hey I’ve been crushing
on this HUMAN for years!”
“He’s drawed as human,
he’s a character”
“How could you say this
to me when you have a lot of Super Junior poster in your room and nearly always
talking about almost an adult film scene with 13 guys?”
“Daym, you got a point.
And it’s not adult film scene! But they are real guys!”
“My kurei is a real guy,
with wings of fiyaaahhh...”
--
“Is that Kurei?”
Sebuah pertanyaan terlempar dari sebelah atas kubikel ku. Suaranya familiar. Tapi hidupku kan bukan sebuah cerita manga dimana tokoh penyendiri tiba-tiba mendapatkan pangeran yang menerimanya apa adanya? Ok, itu terlalu jauh. Sebaiknya aku menengok sekarang.
“Maya?”
“Todi?!”
“Ih, harusnya gue udah
nebak ya ini siapa lagi coba yang suka pasang-pasang gambar kartun”
“Hahaha, iya” aku tertawa
datar
Ok, hidupku mungkin bukan
manga, tapi dunia kan memang sempit. Wajar jika si tokoh utama laki-laki
kembali terlihat, mungkin tidak lama lagi aku akan berada kembali dalam cerita
mereka. Mungkin ini hanya scene dimana
si tokoh utama perempuan akan menelponnya mengajaknya makan siang dan ia akan
bercerita tentang harinya dan bagaimana ia bertemu teman lama di kantor. Hey,
tapi ini kantor ku.
“Lo ngapain disini, Di?”
“Oh, abis meeting
sekalian branch visit. Gak nyangka ketemu temen lama disini”
“Hahaha, iya” aku tertawa
datar lagi.
“Eh, lo udah lunch?
Dimana makan enak deket sini? Lunch on me deh.”
---
Kami makan siang dalam
diam. Apa yang harus kubicarakan? Sepertinya dia hanya akan mengejek ku jika
aku membicarakan chapter terbaru Kaichou wa maid-sama yang keluar hari ini.
Tapi itu kan shojou, mungkin dia akan lebih suka One Piece. Huff, kenapa
pusing-pusing mencari topik seperti itu, seingatku dia sama sekali tidak
menyukai manga.
“Eh, jadi lo masih suka
nonton kartun?” tanyanya antusias.
“Eh, kartun? Gak juga,
paling baca aja. Gak sempet untuk nonton animenya.”
“Oh, iya. Gue juga suka
tuh. Kemaren gue nemenin ponakan gue nonton despicable me 2”
“Heh?” aku mengeluarkan
wajah kecewa yang harusnya beraksesori keringat besar di pojok kepalaku.
“Kenapa?”
“Oh, maksudnya kartun
beneran ya?”
“Hehehe, iya, salah ya?”
“Enggak-enggak... Belom,
kalo despicable me 2 gue belom nonton”
“Arlita, apa kabar?”
“Mm... baik, mungkin”
Ada yang terasa aneh. Sepertinya
mungkin aku salah bicara. Aduh, gimana ini?
“We’re going to get
married”
Ahh, begitu...
“Wah, selamat ya.”
“Hahaha, iya. Thanks.”
----
Sebagai tokoh pendukung
seharusnya pertemuan kami berakhir dimakan siang itu. Namun pembicaran kami
tidak habis saat ia kembali ke kantornya di kota sebelah. Text demi text
membuatku merasa aneh karena yang ditanyakan tidak lagi sebatas mengenai
pekerjaan. Kini kata “selamat pagi” sampai “have a good rest” tidak absen membuka
dan menutup hariku dua minggu belakangan. Puncaknya adalah sebuah text
berakhiran “I wish you were my girlfriend”. What the hell...? Sepertinya ini
harus diakhiri sebelum seorang gadis calon pengantin mendatangiku dan melempar
benda berat ke arahku.
“Hey, have a time for
lunch? My treat. Gak enak kemaren udah dibayarin makan.” –text send-
--
“So, my point is, you
have to stop texting me.”
“Hah? Kenapa?”
“Gak nyaman, dengan fakta
bahwa lo udah pake cincin”
Todi mengeluarkan senyum
dan membersitkan sebuah tawa mencemooh.
“Ok, mungkin gue
ke-ge-er-an. But, dont you think it’s just mean to play around like this?”
“Gue gak play around. What
if i really like you? I always been into you.”
“go to hell” tanggapku
sinis.
“You can go to hell with
all your stupid cartoon collection!” suaranya meninggi
Aku terbungkam, wajah Todi
menyiratkan keseriusannya. Mungkin ia tidak main-main. Bukan, bukan main-main,
karena rentetan kalimatnya membuatku degup jantungku melaju kencang.
“If only you never hide
your nose under all those comic books, and fall in love with a real guy that i
can compete with! Gue rela ribut ama siapa pun cowo yang jadi pacar lo. Kalo
yang lo sukain aja tokoh dua dimensi, apa gue harus ikut cosplay supaya bisa
dapetin perhatian lo?”
“Bentar, bentar, lo nyalahin gue karena obsessed ama tokoh di manga dan lo gak bisa deketin gue karena itu? Lo pikir gampang nahan diri liat lo berada di deket gue tapi terasa gak bisa digapai karena lo macarin temen baik gue? That mangas save me from killing myself because envy and jealousy!”
“Bentar, bentar, lo nyalahin gue karena obsessed ama tokoh di manga dan lo gak bisa deketin gue karena itu? Lo pikir gampang nahan diri liat lo berada di deket gue tapi terasa gak bisa digapai karena lo macarin temen baik gue? That mangas save me from killing myself because envy and jealousy!”
“So... you like me?”
“Liked. With D. Charm lo
luntur begitu sekarang gue tau lo pernah dikalahin kumpulan gambar 2D.”
---
Aku menghela nafas berat.
Jika kejadian tadi siang adalah side story di sebuah manga, bisa dipastikan
tidak ada akhir cerita yang berubah. Tokoh utama laki-laki tetap akan
menggandeng tokoh utama perempuan saat mereka mengucapkan janji di depan altar.
Dan aku akan tetap disini memandangi Kurei dengan sayap apinya.
(manga= komik jepang, shojou manga= komik jepang untuk remaja perempuan, berkisar tentang cerita romantis disekolah. yonkoma= komik empat kotak, seperti kobo-chan, Kurei dengan sayap api bisa dilihat di seri Flame of Recca/Recca no Honoo karya Anzai Nobuyuki, vol. 17, chap. 165)
No comments:
Post a Comment