Monday, March 7, 2011

Sang Putri Bintang

Vermin menatap kosong ke langit. Bintang yang bercahaya begitu cemerlang justru menambah kesalnya. Mereka seakan mentertawakan kondisinya yang mengenaskan.

Ia mengerang pelan saat luka di sayapnya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ksatria berbaju zirah keperakan itu hampir mengoyak putus salah satu salah satu sayap kebanggaannya. Belum lagi, Sang Ksatria juga mencuri gadis pujaannya.

Pertarungannya dengan Sang Ksatria datang dan berlalu dengan begitu cepat. Kedua sayapnya tak mampu menghindari kelincahan sang ksatria yang melancarkan serangan-serangan mematikan. Ia dibuat tak mampu berkutik.

Tak sampai matahari terbenam, Vermin sudah tersungkur tak berdaya dihadapan Sang Ksatria. Entah berapa banyak belulangnya yang patah, yang jelas ia merasa remuk. Saat pandangannya nyaris menggelap, ia melihat Sang Ksatria pergi membawa serta serpihan hatinya. Di atas seekor kuda putih paling indah yang pernah ia lihat, Sang Ksatria dan Putri menjauh meninggalkannya.

Ia mengutuk Sang Ksatria untuk tidak menghujamkan pedang perak itu ke jantungnya. Sang Ksatria harusnya mengambil serta nyawanya, bukan meninggalkannya atas sebuah nilai bodoh ”tidak membunuh lawan yang telah menyerah”, karena demi apapun, Vermin sesungguhnya tidak pernah menyerah. Ia masih ingin bangkit, menerjang, dan melanjutkan pertarungan mereka. Namun, tenaganya tiada lagi bersisa.

Kini ia hanya bisa mengijinkan alam pikirnya mengulang kekalahan hari ini seperti mimpi buruk yang tak pernah usai.

”Aku mencintaimu, Vermin”
”Benar, Putri?”
Gadis di depannya mengangguk dan tersenyum. Matanya birunya bersinar cemerlang. Seperti bintang.

No comments:

Post a Comment