Monday, June 14, 2010

Banyak Senyum dari Kota

Ia memandangi lekat-lekat ruangan itu. Sebuah ruangan putih yang masih kental dengan bau cat. Senyum lebar menghiasi wajahnya, Ia sedang membayangkan tangan-tangan nakal yang akan merusaknya dengan batangan krayon maupun noda coklat yang dijiplakan dengan sengaja. Ia bisa mendengar gema teriakan melengking dari pita suara mereka selagi kaki-kaki kecil itu berkejaran. Ia pun samar-samar mulai melihat kuda kayu yang tidak akan berumur panjang karena selalu diperebutkan.

"Pak, Linda dan anak-anak belum bisa main ke rumah. mungkin lain kali ya, pak..."

Ia membuang setengah keranjang apel yang telah membusuk. Padahal ia telah membayangkan mulut-mulut kecil itu mengunyah pie buatannya dengan lahap. Ia juga harus membuang tepung terigu berkutu yang tak lagi bisa dipakai, salahnya memang, ia tidak menutup tempat penyimpanan tepung itu dengan cukup rapat. Padahal dengan tepung itu ia berencana membuat kue kayumanis wanginya yang selalu berhasil membuat jejak-jejak kecil tercipta ke arah dapur.

"Belum bisa minggu ini, Ibu, Arian masih di Bangkok, akan repot bawa si kembar ke rumah"

Mata mereka berkaca-kaca begitu membuka kiriman yang datang tadi siang, sebuah amplop tipis berukuran besar. Isinya beberapa lembar kertas A4 penuh coretan khas dari krayon berbagai warna. Gambar jalan raya menuju dua gunung hijau yang mengapit matahari yang tengah tersenyum. Gambar rumah dengan sawah bermotif kotak-kotak yang terhapmar dengan padi berbentuk centang. Serta gambar beberapa tokoh kartun dengan wajah ceria. Lembaran terakhir membuat air mata keduanya menetes haru, sebuah tulisan kaku dengan spidol biru muda.

"Apa kabar, kakek dan nenek? Dio dan Rio kangen"

1 comment: