Monday, June 28, 2010

Lonceng Angin

Malia menyukai hidupnya. Sedarhana, statis dan begitu santai. Rangkaian 3 kata yang bagi beberapa orang terdengar tidak menjanjikan. Dibandingkan kakak dan adiknya sudah menjadi orang-orang yang sukses, dua orang dokter, seorang pengacara, serta dua orang insinyur entah bidang apa, ia menyukai pekerjaannya sekarang. Seorang kasir disebuah toko roti yang sangat terkenal dengan roti manisnya. Toko yang laris dan selalu tutup sekitar pukul 5 sore, saat roti terakhir terjual.

Setelah menyelesaikan perihal pembukuan, Malia akan melangkah pulang di iringi azan maghrib ke rumah kontrakannya yang mungil tidak jauh dari tempatnya bekerja. Ia menyukai perjalanan pulangnya, ditemani temaram senja dan angin sore yang sejuk, jalan kecil yang ia lalui setiap harinya merupakan jalan komplek tempat anak-anak bermain, tidak jarang sepeda-sepeda mini masih tergolek di luat pagar, ditinggalkan si empunya yang dipanggil sang ibu yang masih percaya akan cerita lama ”tidak baik bermain saat diluar saat maghrib, nanti diculik kolongwewe”

Akan tetapi yang paling ia sukai dari perjalanannya adalah memandangi sebuah rumah lama yang tersempil belokan kedua sebelum ia sampai ke kontakannya. Selintas yang ia dengar dari anak-anak rumah itu berhantu. Mendengar hal itu ia hanya bisa tersenyum, antara percaya atau tidak. Terdapat sebuah lonceng angin yang selalu berbunyi indah dari rumah itu. bunyinya seperti mempunyai perasaan tersendiri, hangat seperti sebuah tawa girang maupun pelukan seorang teman. Malia menyukainya, menenangkan pikirnya.

Yang ia tidak tahu adalah lonceng itu tidak benar-benar digerakan oleh angin. Adalah Melodi seorang gadis kecil yang selalu memainkannya. Mulanya Melodi hanya memainkan temali lonceng itu selama bertahun-tahun, tak beraturan. Namun semua berubah saat Malia melewati rumah itu dan tersenyum ke arahnya. Malia, seharusnya sama seperti orang-orang lain, tidak bisa melihat Melodi. Karena nyatanya Melodi sudah tidak memiliki raga, Melodi ditinggal keluarganya saat ia gagal berjuang melawan demamnya, bertahun-tahun lalu. Ibu Melodi sangat terpukul, dan melihat hal itu ayahnya memutuskan untuk pindah dari rumah itu dan memindahkan lonceng angin dari kamar Melodi ke teras rumah. Tempat Melodi memainkannya setiap hari menunggu ibu dan ayahnya kembali suatu saat nanti.

Malia maupun Melodi seperti menemukan senyum yang mereka butuhkan. Malia tidak yakin mengapa ia tersenyum ke arah rumah itu tiap kali melewatinya, ia hanya ingin berterimakasih pada lonceng angin itu atas bebunyian yang begitu disukainya. Lalu bagi Melodi senyum Malia adalah hal terbaik yang pernah ia miliki, seperti seorang teman.
Jika dihitung sudah 5 tahun, Malia dan Melodi bertukar cita. Masih akan ada banyak sore yang menyenangkan apabila sebuah tragedi tidak terjadi. Sebuah sore dimana Melodi yang sudah merangkai bunyi berbeda dari lonceng angin itu tidak mendapatkan senyum temannya. Hari kian malam dan Melodi masih lonceng anginnya dengan setengah hati, ia sudah putus asa.

Saat sore berikutnya menjelang, Malia kembali hadir, wajahnya pucat dan terlihat lemas. Terdapat keringat dingin di dahinya. Namun Melodi tidak merasakan perubahan itu, ia terlalu senang, dan ia memalinkan bunyi yang ia rangkai kemarin dengan penuh suka cita, Malia sadar akan suntikan semangat yang ia dengar dari lonceng angin itu, dan ia pun tersenyum. Sayang senyum Malia tidak lama bertahan karena tiba-tiba ia hilang kesadaran dan tumbang didepan mata Melodi. Mulanya Melodi terbungkam, ia bingung atas apa yang dapat ia lakukan, jalanan itu sepi dan ia tidak berdaya menolong Malia yang tergolek lemah. Melodi hanya bisa membunyikan lonceng angin itu sekuat mungkin. Ia ingin membuat sebuah suara seperti lonceng gereja agar Malia bisa mendengarnya dan terbangun atau paling tidak membuat suara itu terdengar oleh seseorang yang dapat menolong mereka.

Malia terbangun disebuah kamar rumah sakit, disampingnya pemilik toko roti menatapnya dengan bahagia. Wanita berumur 60 tahun itu langsung menuju ke rumah sakit sesaat setelah berita tentang Malia sampai ditelinganya. Ia bahkan menggantikan perwalian orang tua Malia disurat-surat administrasi rumah sakit.
”Mal, kamu teh kenapa? Kan Ibu udah bilang kalo kamu masih sakit jangan masuk dulu”
Malia tidak menjawab, hanya tersenyum lemas. Ia ingin memeluk wanita didepannya, namun perhatiannya teralih pada sebuah benda yang ia kenal tergeletak di samping tempat tidurnya. Sang ibu pemilik toko menyadari hal itu dan menjawab tanya Malia.
”Lonceng angin itu ditemuin di genggaman tangan kamu, Mal. Sewaktu kamu pingsan”

Beberapa hari berselang dari kejadian itu, Malia sudah kembali sehat, namun ia harus beristirahat di rumah. Akan tetapi, nampaknya kesehatannya akan cepat pulih mengingat sebuah lonceng angin kini tergantung di teras mungil kontrakannya dan Melodi dengan senang hati memainkan bebunyian yang mengundang senyum Malia. Selayaknya canda ringan yang dilemparkan seorang teman.

No comments:

Post a Comment